Kita hidup di tengah gempuran swalayan kecil maupun besar. Pembaca yang tinggal di perkotaan, coba cek berapa jarak swalayan terjauh dari rumah anda saat ini? Bandingkan dengan keadaan lima atau enam tahun lalu.
Menjamurnya swalayan-swalayan ini didukung oleh kapitalisasi besar, manajemen yang rapi, meningkatnya daya beli masyarakat serta fasilitas belanja yang memadai. Tentu pembeli cenderung akan memilih suasana belanja yang nyaman, full AC, bebas becek dan bau. Akhirnya, perlahan tapi pasti kehadiran mereka mulai menggeser keberadaan pedagang-pedagang tradisional.
Pertahanan terakhir para pedagang tradisional berada pada pasar rakyat. Saya dan istri masih kerap berbelanja di pasar rakyat. Memang dari segi sarana prasarana penunjang kenyamanan berbelanja, pasti jauh dibanding pusat perbelanjaan modern. Tapi selalu ada alasan yang membuat pilihan berbelanja di pasar rakyat tetap mengasyikan. Ini beberapa alasannya:
- Suasana Kekeluargaan. Interaksi, ini yang tidak ditemukan pada tempat perbelanjaan modern. Pasar rakyat penuh dengan kehangatan komunikasi antara penjual dan pembeli. Jika lama tidak muncul, penjual biasa akan menyapa pembelinya dengan hangat, “lama tidak kelihatan?” atau “kemarin ke luar kota ya?” dan sapaan-sapaan seperti itu. Jika sudah menjadi pembeli tetap, pembicaraan pun bukan seputar tawar menawar saja. Obrolan bisa lebih personal, atau membicarakan isu-isu yang sedang hangat di tengah masyarakat.
- Jualan Unik dan Khas. Kebutuhan sehari-hari atau dagangan tertentu yang khas biasa hanya bisa ditemukan di pasar rakyat. Misalnya mau beli sagu asli dari petani sagu yang kemasannya masih menggunakan daun sagu itu sendiri, atau mencari Pangi dan Pamarassan (keluwak) yang biasa digunakan untuk membuat masakan tradisional Toraja, silahkan ke pasar rakyat. Begitu pula dengan kue-kue tradisional, kita lebih mudah menemukannya di pasar rakyat dibanding di pusat perbelanjaan modern.
- Keleluasaan Menawar dan Penjual yang Baik Hati. Selain suasana belanja yang hangat, di pasar rakyat kita juga tidak perlu malu menawar. Istri saya bahkan kadang menawar sampai setengah harga. Alih-alih menjadi marah, penjual biasa hanya tersenyum atau menggelengkan kepala lalu menaikkan harga penawaran. Penjual juga biasa bersedia saja meladeni permintaan pembeli yang macam-macam. Beli ikan sepuluh ekor minta bonus satu ekor, beli kacang panjang tiga ikat minta gratis daun sup satu ikat dan lain-lain. Jika sudah jadi pelanggan tetap, penjual bakal lebih royal lagi terhadap pembelinya. Tidak keberatan kalau pembeli menawar dengan ekstrim dan masih minta bonus ini itu. Ini hanya bisa terjadi di pasar rakyat.
- Harga Terjangkau. Para penjual di pasar rakyat sadar kalau sebagian besar pembelinya adalah rakyat kebanyakan. Jadi mereka juga menyiasati dagangannya agar mudah terjangkau oleh dompet masyarakat. Membagi isi kemasan agar harga lebih murah, memperbolehkan pembeli membeli eceran atau partai kecil dan lain-lain. Begitu pula saat harga-harga berloncatan naik, selalu ada saja cara menyiasati dagangan agar harganya tetap terjangkau.
- Ekonomi kerakyatan. Prinsip ekonomi berbagi dapat kita temukan di pasar rakyat. Klasifikasi ruang pasar rakyat biasa diatur berdasarkan jenis jualan yang diperjualbelikan. Jadi setiap kelompok pedagang, baik sayur mayur, pedagang daging, ikan dan ayam, pedagang bumbu dapur, pedagang sembako dan lain-lain, sudah menempati kaplingannya sendiri. Dengan demikian, persaingan usaha bisa lebih adil. Saat berbelanja, uang pembeli pun akan terdistribusi dengan lebih merata sesuai kebutuhan pembeli. Disinilah kita melihat rakyat benar-benar jadi penggerak ekonomi, pelaku sekaligus penikmat perputaran uang. Jika berbelanja di supermarket, kita juga berkontribusi terhadap income pegawai-pegawainya, tetapi keuntungan terbesar dari perputaran modal pembeli tetap saja hanya dirasakan oleh segelintir orang, para pemegang saham perusahaan.
Bangsa kita sejak dulu terkenal sebagai bangsa yang ramah. Dan karakter turun temurun dari nenek moyang ini bisa kita temukan dengan mudah di pasar rakyat. Di kota metropolitan yang identik dengan hedonisme dan egosentris masyarakatnya, pasar rakyat tetap mampu menjadi penyeimbang yang membuktikan rakyat masih bisa berbela rasa melalui geliat ekonomi akar rumput. Sedangkan di pedesaan dan daerah yang belum sepenuhnya tersentuh oleh pasar dan pusat perbelanjaan modern, pasar rakyatlah simpul-simpul modal dan gir yang menggerakan roda ekonomi masyarakat.
Selagi masih ada penjual dan pembeli niscaya pasar rakyat masih akan tetap bertahan. Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan pasar rakyat adalah salah satu jejak peradaban yang harus dipelihara oleh setiap generasi serta pertahanan terakhir dari gempuran kapitalisme yang terus melebarkan kesenjangan ekonomi dalam masyarakat.
Jadi, mencetuskan Hari Pasar Rakyat Nasional menjadi masuk akal jika momentum tersebut digunakan untuk merenungkan dan merayakan eksistensi peradaban ekonomi rakyat di tengah gempuran ekonomi global. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H