“Kamu tidak bisa menahan pikiran laki-laki semenit pun dengan berpakaian begitu,” Nita menyeruput kopi latte-nya sambil berbincang lewat handphone.
Saat itu matahari hampir seluruhnya tenggelam di balik gedung perkantoran. Nita sendiri masih harus menyelesaikan beberapa laporan, berkejaran dengan jarum jam yang mulai menanjak naik. Di sela-sela waktu lemburnya, Fresta, kawan sekantornya menelepon dan terjadilah percakapan itu.
“Tenang saja. Nanti aku bawa sangkar besi untuk mengamankan pikiran mereka. Setelah itu sangkarnya dikasih listrik deh. Aman, kan?” sahut Fresta.
Keduanya tertawa.
“Bisa saja kamu. Ta, aku masih banyak kerjaan. Sudah dulu, ya. Salam buat Jo. Mudah-mudahan kencan kalian sukses malam ini.”
“Oke deh. Makasih, Sister. Jangan kelamaan pulangnya. Kasihan suami kamu…”
“Siap laksanakan…”
Keduanya tertawa lagi sebelum percakapan mereka terputus.
Setengah jam kemudian, seorang lelaki mengetuk pintu apartemen Fresta. Lelaki itu berpakaian necis dan Fresta kelihatan seksi dibalut gaun putih berleher rendah. Sebuah pesta telah menanti mereka. Purnama pun jadi saksi kemesraan sepasang manusia itu.
Sayangnya lelaki itu bukan Jo. Lelaki itu adalah Randy… suami Nita.
--