Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Malam Pertama yang Sedih

Diperbarui: 30 Januari 2016   22:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahagia

Itu kata sakti yang mestinya aku rasakan hari ini dan semakin terasa saat rembulan memanjat malam, menebar serbuk sihir di atas ranjang pengantin beraroma melati. Gaun dan kebaya sudah tersampir kembali ke pelukan almari jati. Sisir menata rambut ikal sepinggul sudah kualunkan belasan kali. Tapi mengapa mas Purba belum juga datang memelukku? Dan mengapa aku merasa……. tidak sepenuhnya bahagia?

Merasa jawabannya datang sebentar lagi, aku menajamkan pendengaranku.

Pintu kamar diketuk. Aku beringsut dan memuntir kunci pintu.

Raisa, adik iparku masuk dengan mata memerah karena linangan air mata.

“Mbak, Mas Purba mbak! Mas Purba pergi….!!”, isaknya lalu memelukku. Aku pun melarutkan diri dalam pelukannya. Aku berusaha membendung air mataku, tetapi tak berdaya.

Inilah yang aku takutkan.

Purba menikahiku bukan karena cinta, walaupun aku mencintai pria itu lahir dan batin, dalam sakit dan senang, dalam untung dan malang. Pernikahan ini terjadi hanya karena dia ingin memenuhi permintaan terakhir almarhum ibunya. Purba punya seorang gadis lain di luar sana, aku tahu. Juga aku tahu, keluarga Purba termasuk mendiang ibunya tidak pernah setuju dengan hubungan itu.

“Aku akan memenuhi permintaan ibu untuk menikahimu, Laksmi! Tapi hanya sampai disitu, jangan sekali-kali kamu berharap lebih. Aku janji!!,” ucapan ketus dari bibir mas Purba itu terngiang kembali.

Akhirnya seiring malam yang semakin larut, Raisa tertidur di kamarku. Guruh bersahutan di luar sana pertanda badai akan segera menyapa. Aku menarik selimut, menyelimuti tubuhku dan tubuh Raisa di sampingku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline