Malam telah menyembunyikan purnama dibalik awan hitam kelam. Kelam, sekelam kabut di mata Ririn. Sebuah foto di layar sosial media telah merubah kabut itu menjadi amarah tertahan. Desah nafasnya mulai naik turun tak karuan. Jemarinya di ujung mousepad pun bergetar hebat. Sekali sentak, layar laptopnya tertutup dengan deras.
Ririn bangun dari kursinya lalu menumpahkan semua kekesalannya dengan melabrak sebuah potret berbingkai merah jambu yang selama ini menghiasi meja kerjanya.
Dari balik kaca jendela, hujan mulai menitik satu-satu. Ririn berharap memandangi tirai hujan yang semakin merapat itu bisa meredakan gejolak dalam hatinya. Sedikit berhasil. Tapi amarahnya kini bersalin wujud dalam rupa yang lebih kejam. Dia punya akses pada sebuah perusahaan kimia besar. Sebuah senyum kecil telah menghiasi sudut bibirnya.
*******
“Okey, beb. Cepet yak bentar lagi filmnya dimulai. Ririn juga udah mau balik nih,”
Suara renyah Denada mengakhiri percakapannya via handphone dengan seseorang disana. Kelihatannya orang spesial.
Sementara itu, suasana d’café mulai ramai, seiring jarum jam yang menanjak naik. Alunan live piano sayup-sayup membelai gendang pendengaran.
Denada lalu kembali melahap potongan roti panggangnya. Ririn tersenyum memandangi kawan akrabnya itu lekat-lekat. Lalu matanya sedikit memicing.
“Eh, bentar, Nad. Ada lelehan mentega di ujung bibir kamu…,” ucapnya.
“Masa sih?!”
“Iya, dikit kok. Sini biar aku beresin…,”