Chart pergerakan Dolar Amerika versus Rupiah di atas saya kutip dari bloomberg.com. Luar biasa! Setelah terseok-seok beberapa bulan, Rupiah bangkit dan berbalik tajam hanya dalam kurun waktu seminggu. Terlihat dari chart tersebut pada penutupan perdagangan 9 Oktober, Rupiah kembali pada level Rp13.400-an per dolar-nya, sama dengan harga pada minggu ketiga bulan Juli yang lalu.
Apresiasi ini membuat Rupiah disebut-sebut sebagai currency yang paling perkasa di Asia saat ini. Memang tidak banyak mata uang yang bisa menguat 9% hanya dalam waktu seminggu. Bloomberg.com pun menyebut penguatan mingguan ini patut menjadi catatan khusus. Fenomena ini mengulang sejarah pair USD-IDR pada tahun 1998 dan 2001 yang lalu.
Analisis dari para pedagang, ekonom dan pelaku pasar pun memenuhi media kita. Secara garis besar, penyebab dominan dari penguatan rupiah dan beberapa mata uang lainnya adalah penundaan kenaikan suku bungan acuan oleh the Fed, juga rilis data pekerjaan di Amerika yang berada diluar ekspektasi para investor. Hal ini membuat mereka kembali memburu saham dan mata uang pada sejumlah negara emerging market yang sudah terlanjur undervalued.
Sedangkan fundamental dari dalam negeri adalah paket kebijakan ekonomi jilid III yang direspon positif oleh dunia usaha. Beberapa rencana pembangunan infrastruktur juga mulai terasa progress-nya, salah satu contohnya proyek kereta api cepat yang kemarin cukup rame diperbincangkan. Faktor pendukung lainnya adalah inflasi yang cukup terkendali dan neraca perdagangan tahunan yang surplus.
Jadi sebenarnya cukup banyak faktor pendorong Rupiah masuk ke zona hijau.
Namun kita tidak boleh terlena dalam euforia ini. Sekalipun ada indikasi Rupiah masih akan terus menguat, selalu ada saja kemungkinan terjadi pembalikan arah lagi. Kemarin Kompasianer Alan Budiman sudah menganalisis, level psikologis Rupiah ada di harga 12.200-an per dolar-nya. Jadi jika Rupiah terus menguat dan bisa menembus level tersebut, Rupiah memiliki kemungkinan berada pada range Rp10.000 - Rp12.000,- Namun jika tidak, rupiah akan kembali ke level 13.000 dan 14.000-an.
Pembalikan arah ini masih mungkin akan terjadi mengingat sebagian besar dana yang beredar di pasar modal kita adalah modal asing. Akibatnya, isu-isu global sangat mempengaruhi kinerja pasar modal dan mata uang kita. Untuk perubahan suku bunga acuan the Fed, kita masih bisa menunggu sampai paling tidak akhir tahun atau awal tahun depan. Namun rilis data ekonomi lain, baik dari negeri Paman Sam, Tiongkok atau negara-negara berpengaruh lainnya masih memberi impact besar pada animo investor.
Maka PR berikutnya yang harus dilakukan Jokowi dan tim ekonominya adalah terus menjaga iklim perekonomian dalam negeri. Investasi jangka panjang adalah model yang cukup ideal saat ini. Oleh karena itu pemerintah mesti segera merealisasikan proyek-proyek infrastruktur. Sarana transportasi, jalan dan pelabuhan, dan proyek infrastruktur lainnya harus segera digarap.
Stimulus kepada perindustrian seperti yang banyak tertuang dalam paket kebijakan ekonomi jilid III harus diimplementasikan secepatnya.
Kemudian seperti yang sudah sering digaungkan belakangan ini, Pemerintah mesti menggenjot perangkatnya di daerah untuk mempercepat penyerapan anggaran agar perputaran roda perekonomian masyarakat lebih kencang lagi.
And the last but not the least, sekeras apapun tim ekonomi bekerja, tanpa dukungan dari stakeholder yang lain tidak akan banyak membuahkan hasil. Iklim sosial politik dalam negeri juga tetap harus dijaga agar pelaku usaha dan investor bisa lebih betah. Jangan sedikit-sedikit berpolemik, sedikit-sedikit adu statement yang bisa bikin rakyat bingung dan investor ogah berlama-lama. (PG)