Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Penikmat Senja

Diperbarui: 18 September 2015   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sampai kemarin Marsya belum menyadari sebuah takdir. Dia masih suka menikmati senja dari balkon lantai tiga rumah peninggalan orang tuanya yang persis menghadap pesisir barat metropolitan. Dari situ gedung-gedung pencakar langit menjulang, nampak seperti deretan pemain pantomim berlatar panggung berwarna tembaga. Sesekali dari kejauhan, nampak pula pesawat terbang yang hendak landing atau yang baru tinggal landas. Parade burung-burung camar yang hendak pulang ke sangkar juga mulai terlihat.

Sembari menyesap cappucino panas, Marsya tersenyum lirih menatap keindahan senja tersebut.

Namun malangnya, senja kemarin sebuah peristiwa memalingkan kesadarannya. Di bawah balkon rumah bergaya kolonial yang kerap ditempatinya, mobil pick up hitam pekat menghantam deras seorang pengendera motor wanita. Seketika jalanan tersebut jadi TKP maut. Skuter matic wanita itu remuk disana-sini, hampir kehilangan wujud aslinya. Nasib pengendaranya lebih naas lagi.

Tak sampai semenit kemudian, warga memenuhi TKP, menimbulkan kemacetan kecil di jalan-jalan kompleks.

Marsya terpaku menatap peristiwa tragis itu. Kakinya seperti terpatri pada lantai balkon yang terbuat dari jati. Bibirnya bergetar memandang jenazah wanita yang terkapar belasan meter dari skuter matic. Wanita itu mengenakan jaket pink dan celana jeans biru gelap.

Untuk menenangkan diri, Marsya merebahkan pantatnya ke kursi yang terbuat dari bambu dan anyaman rotan, membiarkan gaunnya menjuntai menutupi sebagian lantai balkon.

Namun belum hilang debaran jantungya, Marsya kembali terkejut dengan kehadiran sosok asing di depan matanya.

 ***********

Kini Marsya tak lagi sendiri. Dia telah memiliki seorang kawan, sama-sama penikmat senja. Sepanjang hari mereka berbagi kisah tentang kehidupan, cinta, kejamnya dunia bahkan kematian. Sering keduanya tertawa berderai, namun kerap pula berbagi tangis pilu.

Sampai langit kota kembali memancarkan semburat tembaga dari matahari senja, keduanya kembali berpaling menatap lurus ke arah barat. Perlahan tetapi pasti, matahari mulai bergerak meninggalkan pandangan. Menanti matahari seperti ini, bagai pengantin pria yang sedang menanti pengantin wanitanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline