Pertanyaan salah satu peserta pelatihan Financial Literacy di Credit Union kami itu sejenak membuat fasilitator pelatihan tak bergeming. Saya yang saat itu jadi operator proyektor turut terhenyak. Memang pertanyaan tersebut muncul spontan tapi tak urung membuat kami berpikir mencari formulasi jawaban yang tepat.
***
Membedakan kebutuhan dan keinginan merupakan salah satu strategi memaksimalkan pengelolaan arus kas keluarga. Sedapat mungkin kebutuhan berada paling atas pada urutan prioritas pengeluaran, setelah itu baru memberi tempat pada pemenuhan keinginan.
Selama ini relatif mudah memberi contoh bagaimana mengatur skala prioritas kebutuhan versus keinginan ini. Kebutuhan merupakan pengeluaran yang harus kita penuhi, jika tidak kehidupan kita akan terganggu sedangkan keinginan bisa ditunda atau tanpanya hidup kita masih bisa berjalan sebagaimana biasa. Misalnya, makan merupakan kebutuhan bagi semua orang, tetapi makan di restoran mewah bisa jadi adalah keinginan untuk sebagian orang. Bukan berarti tidak boleh makan di restoran, tetapi penganggaran keuangannya harus bagus, agar tidak sampai menggerus pos-pos kebutuhan atau pengeluaran lain yang lebih penting untuk dipenuhi.
Makanya keinginan ini mesti berada paling bawah pada daftar rencana belanja. Atau menggunakan cara lain, mencadangkan dananya melalui penyisihan pendapatan. Apalagi jika keinginan ini menguras biaya yang lumayan besar. Misalnya kembali ke contoh tadi, untuk makan di restoran mewah sekeluarga kita membutuhkan budget Rp 1.500.000,- Jika Rp 1.500.000 ini dikeluarkan sekaligus dapat mengganggu arus kas, maka kita harus menyisihkan pendapatan terlebih dahulu dengan memasukkan makan di restoran sebagai rencana yang akan kita penuhi beberapa waktu mendatang sambil menyisihkan pendapatan. Misalnya jika setiap bulan kita mampu menyisihkan Rp 500.000,- maka tiga bulan mendatang kita sudah bisa memenuhi keinginan tersebut tanpa perlu takut mengganggu arus kas keluarga.
Strategi yang sama juga dapat digunakan untuk tujuan lain seperti misalnya rekreasi ke luar negara, membeli perabot mewah dan lain-lain.
Kembali ke topik, menikah itu dikategorikan sebagai kebutuhan atau keinginan menjadi pertanyaan yang kebenaran jawabannya sangat relatif. Bisa disebut sebagai kebutuhan karena menikah merupakan konsekuensi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan diciptakan Tuhan berbeda jenis kelamin untuk saling melengkapi satu sama lain. Dari sudut pandang religius, menikah tidak salah lagi merupakan sebuah kebutuhan.
Namun jika merujuk kepada definisi semula mengenai keinginan, pernikahan bisa jadi merupakan sebuah keinginan. Tanpa menikah pun hidup kita masih bisa berjalan seperti biasa.
Nah, menggabungkan dua perbedaan cara pandang ini pada akhirnya berujung pada kesimpulan kalau menikah itu bisa dikategorikan sebagai kebutuhan sekaligus keinginan. Tergantung pada cara pandang dan situasi kondisi pribadi yang akan melakoninya.
Ini adalah kesimpulan paripurna untuk menutup sesi pelatihan kami. Sebenarnya kesimpulan yang sama dapat diberlakukan untuk berbagai item pengeluaran yang lain. Setiap orang memiliki keunikan dalam hal kekuatan finansial, posisi utang piutang, caranya mengelola arus kas serta sumber dan penggunaan dana. Dengan demikian tidak ada ukuran baku item-item apa saja yang masuk kategori kebutuhan maupun keinginan. Keinginan untuk seseorang bisa jadi merupakan kebutuhan untuk yang lain, atau sebaliknya. Makan malam di restoran mewah, bisa jadi merupakan kebutuhan bagi seorang taipan, karena makan malam dapat digunakan sebagai cara untuk menjamu kolega, atau melancarkan urusan dengan mitra bisnis.
Smartphone merupakan keinginan bagi ibu rumah tangga yang cuma membutuhkan handphone untuk menelepon dan SMS, sementara bagi ibu rumah tangga yang merangkap sebagai blogger dan pedagang online, smartphone merupakan kebutuhan. (PG)