Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Mata Najwa Bicara Industri Film India

Diperbarui: 4 April 2017   17:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Mata Najwa Bicara Film India

Potensi jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan masyarakat kelas menengah menjadikan Indonesia sebuah pasar besar. Bukan saja untuk produk berupa barang atau komoditas. Produk industri kreatif yang dikemas dalam bentuk budaya impor belakangan ini makin gencar menggempur panca indera kita.

Program Mata Najwa menangkap fenomena ini sehingga mengangkatnya menjadi topik talkshow malam tadi (27/5). Sesi pertama yang membedah fenomena film India yang akhir-akhir ini sangat digandrungi masyarakat dibuka dengan tarian Kathak dari India Utara.

Lalu talkshow dimulai dengan menghadirkan Isabela, seorang penggemar bollywood, dan Manoj Punjabi CEO MD Entertainment salah satu rumah produksi ternama di tanah air.

Mengapa jatuh cinta pada budaya India?

Demikian pertanyaan besar yang hendak digali jawabannya dari seorang fans. Isabela menjawab, budaya India dengan Indonesia sebenarnya memiliki banyak persamaan. India identik dengan budaya Hindu, begitu pula dengan sejarah budaya bangsa Indonesia. Ini berhubungan pula dengan bahasa. Beberapa kata Indonesia memiliki kesamaan dengan bahasa India seperti misalnya kata “kursi”, “manusia” dan lain-lain. Mungkin persamaan yang paling “kasat mata” adalah dangdut, musik rakyat Indonesia yang hentakannya begitu mirip dengan musik-musik khas India.

Persamaan-persamaan inilah yang membuat budaya impor dari India begitu mudah diterima para penggemarnya di Indonesia.

Bagaimana sudut pandang pelaku Industri Hiburan?

Dengan  dukungan teknologi informasi yang semakin canggih, budaya negara yang satu begitu mudah  disajikan ke depan mata masyarakat negara lainnya. Fenomena ini tidak disia-siakan begitu saja oleh para pelaku industri kreatif. Bahkan menjadi ladang bisnis yang baru. Tidak usah jauh-jauh, di Indonesia contohnya. Akhir-akhir ini serial India begitu sering menghiasi layar kaca kita. Tidak cukup dengan mendatangkan film-nya saja, aktor dan aktris-nya pun ikut didatangkan untuk meramaikan dunia hiburan di tanah air. Kiprah mereka mulai dari mengisi acara live show sampai menjadi talent iklan produk-produk lokal.

Akhirnya seperti bisnis pada umumnya, culture ini menjadi kemasan dari sebuah produk bisnis yang diimpor dari negara lain. Hal ini ditegaskan Manoj Punjabi yang juga dihadirkan sebagai tamu Mata Najwa semalam.

Perbincangan menjadi menarik setelah Najwa Shihab mulai mengubek-ubek “isi dapur” industri film India dari sudut pandang Manoj Punjabi, seorang pelaku industri hiburan tanah air.

Mengapa film-film Bollywood laris manis di pasar Internasional?

Kita lihat film-film keluaran Bollywood memiliki branding yang cukup kuat melekat di benak penggemarnya. Pikiran spontan yang langsung muncul begitu memikirkan film-film India adalah kisah yang diselingi dengan tarian dan nyanyian. Kekuatan branding ini rupanya memang sudah menjadi bagian dari patron yang harus diikuti oleh pelaku industri hiburan disana. Manoj mengatakan di India aktor atau aktris yang tidak pandai menari tidak akan laku di pasaran. Bahkan penulis-penulis naskah film pun juga harus bisa membuat lagu, karena film India adalah packaging antara cerita dan lagu (lagu kita anggap juga satu packaging dengan tarian). Begitu pentingnya lagu ini dalam film India membuat waktu syuting untuk tarian dan lagu bisa lebih lama dari waktu syuting untuk cerita filmnya sendiri.

Selain itu, film-film India juga kental dengan adegan-adegan yang menguras emosi dan imajinasi. Plot yang dikembangkan dengan dukungan sinematografi selalu dibuat “larger than life”, meminjam istilah Manoj. Dua kekuatan film India inilah yang membuat industri Bollywood mampu menembus pasar Internasional.

Pelaku industri hiburan tanah air pun mulai menyesuaikan diri dengan derasnya budaya impor khususnya dari India ini. Hanya saja ada beberapa perbedaan mendasar yang harus pandai-pandai disiasati, agar para pelaku industri hiburan tanah air mampu menkombinasikan antara culture dan industri dengan baik. Misalnya tempo atau irama adegan-adengan ala India cenderung  cepat, berbeda dengan tempo sinetron kita yang lambat. Menjiplaknya begitu saja tidak akan mudah, karena selera penonton di Indonesia memang seperti itu adanya.

Di akhir sesi, Najwa Shihab menanyakan apa saja kiat-kiat industri perfilman India yang bisa dicontek oleh pelaku industri tanah air. Manoj menjawab dengan mantap ada dua hal. Yang pertama adalah strategi marketing mereka, yang kedua adalah cara industri perfilman India menciptakan “hero” baru. Hero dalam hal ini bukan saja Hero seperti dalam film ala Marvel, tapi lebih kepada penokohan seorang artis yang membuatnya jadi primadona masyarakat di dalam dan di luar scene film.

Saya sebenarnya bukan fans atau pemerhati India-India-an ini.  Tetapi menyimak perkembangan budaya impor dari sana yang kini mulai merajai industri hiburan di tanah air, saya kadang jadi ngeri sendiri. Aktor India seperti Vin Rana jadi fasih menyanyikan lagu “Kereta Malam”, serial India jadi raja di prime time dan Shaher Sheikh jadi bintang iklan minuman energi produksi dalam negeri.  MEA masih belum resmi dirilis, tapi ekspansi bisnis negara lain, khususnya dalam industri hiburan tanah air mulai terasa.

Mudah-mudahan para pelaku industri hiburan kita aware terhadap tantangan ini dan giat berinovasi agar kita tetap bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline