Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Mengajar Orang Dewasa Susah-susah Gampang

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mengajar sebagai sebuah aktivitas transfer mentransfer ilmu memiliki tantangannya sendiri. Para pengajar pasti sangat paham hal ini. Oleh karena itu ada ilmu khusus bahkan jenjang pendidikan khusus yang harus dipelajari oleh orang-orang yang berkecimpung dalam bidang ajar mengajar.

Saya sama sekali tidak memiliki basic pendidikan khusus tersebut tapi tuntutan job mengharuskan  saya ikut memikirkan strategi pendidikan dan pelatihan di Credit Union kami. Mulai dari modul dan  jenis-jenis diklat yang dibutuhkan oleh anggota Credit Union, sampai evaluasi efektifitas diklat terhadap perkembangan Credit Union kami.

Resistensi

Salah satu penyebab masalah yang biasa muncul di lapangan adalah peserta diklat yang didominasi oleh orang dewasa dan tua. Jurus-jurus mengajar secara paedagogis tidak berlaku disini. Apalagi bila fasilitator atau orang yang berdiri di depan kelas adalah orang yang usianya jauh lebih muda, bisa terpaut beberapa tahun, sepuluh sampai dua puluh tahun. Tentu muncul “mental block” yang disebabkan mereka menganggap orang yang lebih muda masih minim pengalaman dan wawasan.

Kalau materi yang dibawakan berbentuk sosialisasi kebijakan, atau hal-hal yang sifatnya teknis praktis pada umumnya tidak terjadi banyak resistensi dari peserta.  Toh materinya sudah sakleg seperti itu. Namun masalah seringkali muncul saat materi yang dipresentasikan adalah materi yang berupa konsep, perubahan mindset, penyamaan persepsi atau materi-materi sejenis. Kalangan orang tua apalagi yang sudah cukup sepuh merasa mereka tidak perlu lagi diajari hal-hal semacam itu karena mereka sudah cukup kenyang makan asam garam kehidupan ini. Indikator resistensi mereka yang langsung kelihatan misalnya enggan menyimak penjelasan, suka protes tanpa dasar yang jelas, enggan mengikuti instruksi fasilitator atau suka memotong ucapan fasilitator saat sesi berlangsung.

Misalnya saat fasilitator membawa materi menetapkan tujuan keuangan dengan merancang target-target kehidupan, satu dua peserta terlihat enggan mengikuti instruksi untuk menuliskan target kehidupan mereka pada kertas kerja yang dibagikan. Alasannya tidak perlu lagi menuliskan target kehidupan karena usia sudah lanjut. Padahal, selama masih hidup kita pasti selalu punya perencanaan untuk hari esok bukan? Atau contoh lain, fasilitator membawa materi konsep menabung yang baik yaitu pendapatan dikurangi tabungan, sisanya barulah digunakan untuk belanja atau kebutuhan lain. Belum seluruh konsep dipaparkan, sudah ada yang protes.  “Zaman sekarang susah kalau mau menabung model begitu. Harga barang pada naik, sementara pendapatan begitu-begitu saja,” kilah beberapa orang itu.

Jangan bayangkan tim fasilitator kami secanggih orang-orang yang memang terlahir sebagai motivator seperti Tung Desem Waringin, Mario Teguh atau Merry Riana. Sebagian besar pelatihan kami, khususnya untuk anggota hanya difasilitasi oleh aktivis atau manajemen potensial yang direkrut secara khusus. Tugas utama mereka adalah berbagi dan menduplikasi materi-materi yang lebih dulu disodorkan kepada mereka. Tentu ada pelatihan-pelatihan khusus untuk selalu mengasah kompetensi fasilitator-fasilitator ini. Tapi berhadapan dengan situasi-situasi khusus seperti yang sudah dicontohkan di atas, memerlukan tidak hanya skill presentasi tapi juga jam terbang yang memadai. Apalagi budaya ketimuran kita menyangkut penghargaan terhadap orang tua masih cukup mengakar kuat. Sehingga jika tidak mampu diatasi secara tepat, situasi resistensi ini dapat membuyarkan konsentrasi fasilitator.

Strategi Andragogi

Menjawab hal tersebut, modul diklat harus dibuat untuk membantu fasilitator memberikan pendekatan yang sesuai untuk orang dewasa dan tua. Jurus-jurus andragogi harus lebih banyak digunakan agar pesan dari setiap materi sampai ke pikiran peserta lalu menukik masuk ke hati mereka tanpa resistensi yang berlebihan.

Oleh karena itu pada materi-materi tertentu metode ceramah ditinggalkan. Fasilitator mesti lebih memberi ruang kepada peserta untuk berdiskusi, mengeluarkan isi kepala mereka dengan lugas, lalu mereka saling menanggapi satu sama lain dan memberi kesimpulan. Fasilitator jadi polisi lalu lintasnya. Memberi rambu-rambu yang harus diikuti seperti peraturan selama sesi berlangsung dan pertanyaan-pertanyaan diskusi yang terkait dengan materi. Pertanyaan-pertanyaan ini harus di-setting sedemikian rupa agar alur berpikir peserta lebih runtut sehingga pada akhirnya sampai pada kesimpulan yang diinginkan. Kemungkinan peserta untuk menjadi resisten berkurang, karena setiap peserta diberi ruang untuk berpendapat dalam atmosfir diskusi yang sudah dikondisikan. Pada akhir sesi fasilitator cukup menegaskan kesimpulan tersebut dan menghubungkannya dengan tujuan materi.

Metode diskusinya bisa langsung dilakukan secara pleno, atau dibuat berjenjang, diawali dengan diskusi dalam kelompok-kelompok kecil lalu hasil diskusi tersebut dilaporkan oleh wakil kelompok untuk ditanggapi seluruh kelas.

Strategi andragogi inilah yang kemudian terbukti manjur diterapkan. Apalagi cara belajar orang dewasa sudah jauh berubah dibanding cara belajar semasa sekolahan dulu. Orang dewasa lebih suka menghubungkan materi-materi diklat yang diterima dengan pengalamannya. Orang dewasa juga lebih suka menerima materi yang dekat dengan dunianya.

Dengan memposisikan mereka sebagai subjek bukan semata objek penerima materi, mereka akan lebih membuka diri terhadap masukan dan lebih tergugah menerima materi yang disampaikan. Kembali pada contoh diatas, ketimbang langsung memberi ceramah mengenai konsep menabung yang ideal. Fasilitator dapat mengajak peserta diklat melakukan diskusi kecil. Pertanyaannya misalnya seperti ini "Mana konsep menabung yang ideal menurut anda: 1) Pendapatan digunakan untuk Belanja lalu sisanya ditabung, atau 2) Pendapatan ditabung dulu lalu sisanya digunakan untuk belanja? Apa alasannya?" Lalu dapat ditambahkan pertanyaan seperti ini "Bagaimana kiat-kiat mewujudkan cara menabung yang ideal tersebut?"

Nah, dengan mengajukan pertanyaan tersebut, fasilitator membuat pikiran peserta diklat bergerak aktif memikirkan jawabannya. Untuk pertanyaan pertama sebenarnya memang kelihatan jelas yang mana jawabannya. Tapi cara ini lebih memanusiakan dibanding langsung mencekoki otak peserta dengan jawabannya. Pertanyaan kedua mengarahkan peserta untuk memutar kembali film kehidupannya, siapa tahu ada pengalaman-pengalaman yang bisa digunakan sebagai jawaban. Bisa juga peserta jadi berpikir kiat apa saja kira-kira yang bisa dilakukan untuk mewujudkan strategi menabung tersebut. Dengan demikian penolakan terhadap konsep hampir pasti tidak ada lagi. Sekalipun fasilitator usianya mungkin jauh lebih muda. Pada bagian kesimpulan, fasilitator tinggal menegaskan dan menambahkan bila perlu. That’s it.

Tapi bagaimanapun juga dunia ajar mengajar itu begitu kompleks. Pelaku-pelaku yang berkecimpung dalam dunia itu dimatangkan bukan saja dengan materi dan konsep, tapi juga dengan pengalaman demi pengalaman. Sesuatu yang kelihatan ideal di buku manual, mungkin jadi tidak ideal begitu praktik mengajar dilakoni. Begitu pula sebaliknya. Tidak sedikit strategi-strategi pengajaran yang tepat ditemukan saat berada di lapangan. Strategi ini kemudian dikembangkan lagi melalui kajian-kajian dan penelitian yang juga melibatkan orang-orang di belakang meja, lalu diuji kembali di lapangan dan seterusnya. Demikian siklus manajemen pengetahuan. (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline