Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Kalajengking dan Wanita Berbisa

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Clarisa

Gelap ..

Nanar..

Jahat..

Hampa…

Entah, kata-kata apalagi yang tepat untuk menggambarkan senja yang menakutkan di rumah sakit tua ini.

Pintu kamar pengasinganku tersembunyi dalam tembok dekil, seperti bibir nenek sihir yang tenggelam dalam keriput wajahnya sendiri.

“Orang-orang waras” itu hanya menunggu kematianku saja. Tidak ada lagi yang peduli pada kehidupanku, bahkan juga mungkin suamiku sendiri. Kalaupun ada yang peduli, paling hanya wanita-wanita tua sok suci, yang mondar-mandir dengan morfin dan anti-nyeri mereka. Dan aku yakin, mereka tidak tulus. Mereka melakukan “kebaikan” itu hanya karena tuntutan karir dan uang.

Seiring malam, aura jahat itu terasa semakin menyengat. Sudah belasan kali aku meneriakkan nama lelaki yang telah sembilan tahun ini menikahiku. Aku tahu dia ada di luar sana, dibalik tembok dekil kamar terkutuk ini. Menunggu dengan putus asa sama sepertiku. Bedanya, dia tidak tahu apa yang sedang ditunggunya, sedangkan aku tahu pasti apa yang akan menimpaku. Racun maut yang akan menggerogotiku pelan-pelan….

Petaka itu selalu datang bersama hembusan angin malam. Dibawa oleh makhluk kecil berkaki delapan yang mengintip dari balik ventilasi. Mula-mula hanya ada satu, lalu ada dua, tiga, empat, dan entah dari mana muncul belasan lainnya dan puluhan lainnya.

Tidak! Jangan yang satu itu!

Malam ini hewan laknat itu rupanya membawa hewan laknat lainnya, makhluk hitam menjijkkan berkaki sepuluh dengan capit di ekornya. Gigitan hewan itu sepuluh kali lebih sakit rasanya. Setiap detik, belasan hewan lainnya muncul dari ventilasi, lubang AC dan segala celah tembok yang bisa mereka lewati. Mereka bergerak mengerikan, seperti bala tentara yang dikirim oleh setan dari neraka sana.

Dalam waktu beberapa menit saja mereka ini sudah memenuhi lantai kamarku. Warna keramik putih telah berganti dengan warna hitam berbau anyir sejauh mata memandang. Seperti biasa, mereka semua sedang berkumpul membentuk benteng di sekitar tempat tidurku, seperti menunggu satu aba-aba sebelum serentak menyerbuku. Dan…. aba-aba itu sepertinya telah dikirim seseorang di luar sana. Barisan makhluk-makhluk kelam itu mulai merayap beringas memanjati kaki tempat tidurku.

“Heruuuu!!! Mereka dataaanggg…..!!! Cepat lepaskan akuu….!!!” pintaku histeris. Walaupun aku tahu, tidak akan ada gunanya.

Kalajengking pertama berhasil menyengat ujung kakiku, lalu yang kedua di tengah lenganku, yang ketiga di atas kepalaku, lalu…. Aku tidak bisa menerka lagi. Karena mereka semua telah menggerayang sekujur tubuhku. Aku hanya bisa berteriak pasrah.

***

Heru

Jeritan pilu Clarisa terdengar lagi. Jeritan pilu yang sama dari malam ke malam, tapi sepertinya malam ini suaranya semakin terdengar lemah. Dari jendela ruang isolasi aku menatapnya sedih.

Di atas tempat tidur khusus yang dirancang untuk pasien kejiwaan sepertinya, Clarissa mulai mengejang lagi. Tubuhnya menggeliat kesana kemari seperti orang kesurupan. Jemarinya yang menghitam, meronta-ronta. Tempat tidur itu memang didesain khusus untuk mengunci erat tangan dan kakinya, agar terhindar dari segala kemungkinan menyakiti dirinya sendiri seperti yang pernah dilakukannya beberapa kali.

Sejak tadi dia memintaku untuk melepaskannya. Tapi…. Aku tidak ingin mencampuri proses terapi yang sedang dilakukan dokter.

Sudah hampir sebulan Clarisa menjadi penghuni rumah sakit jiwa ini. Dalam waktu sesingkat itu, dia nyaris berubah drastis dari wanita yang sembilan tahun ini menemani hidupku. Tidak ada lagi mata yang bersinar, senyum manis manja, tubuh anggun dan estetik. Berganti dengan wanita kurus kering dengan tatapan kosong, seolah sedang menunggu hari hari penghabisan menjemputnya.

Tapi aku tidak akan pernah putus asa. Sekalipun itu berarti harus menguras tabungan dan aset lainnya untuk mencari dokter jiwa terbaik di negeri ini.

“Pak Heru,….”

Sapaan itu mengalihkan perhatianku.

Oh, Tari rupanya. Tari salah satu staf ahli dalam divisi yang aku pimpin di perusahaan. Di luar masalah kerjaan, Tari bukan orang lain di tengah keluarga kami. Dia cukup akrab dengan Alex, putra kami. Clarisa bahkan selama ini sudah menganggap Tari seperti adik kandungnya sendiri.

Tadi aku memintanya untuk sekaligus menjemput Alex dari tempat kursus matematikanya, jika ingin menjenguk Clarisa.

“Jadi ke tempat kursus Alex?” tanyaku.

“Iya, pak. Tapi Alex ketiduran di mobil ditemani mang Asep, kecapekan kali. Mana jalanan tadi maceet banget. ”

“Oh, enggak apa-apa. Nanti biar aku bangunkan… Makasih ya. Maaf sudah merepotkan..”

“Enggak apa-apa kok, pak. Kebetulan searah kok…”

Tari maju menjajariku untuk ikut memandang ke ruang isolasi.

“Kasihan mbak Clarissa, ya… Penyakitnya kumat lagi…,” tutur Tari sedih.

Aku bisa memahami kegetiran yang ikut dirasakannya.

“Suster barusan masuk ke dalam untuk mengambil obat penenang. Dokter James sedang dalam perjalanan kesini, mudah-mudahan kali ini kita bisa mendengar berita baik…..,”

Tari mengangguk.

*****

Tari

Kasihan pak Heru. Aku sebenarnya tidak tega melihatnya sedih seperti ini. Tapi yah… mau gimana lagi?

Maaf ya mbak Clarissa…. Saat ini hanya kamulah satu-satunya penghalang di antara aku dan pak Heru. Aku harus menggunakan segala macam cara untuk membuat kamu tersingkir. Dan sepertinya cara terakhir ini yang paling ampuh. Lewat black magic. Begitu soft, pelan… tapi pasti.

Kalau ajian Ki Ronggo memang ampuh…. Umur mbak Clarisa praktis tinggal satu minggu lagi, sebelum santet ini benar-benar membunuhnya dari dalam pikirannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline