Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Kesalahan saat Mengisi Laporan Keuangan Pribadi

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Admin (Kompas.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

Pada salah satu sesi pelatihan Financial Literacy yang dibuat untuk anggota-anggota Credit Union kami, peserta diminta untuk membuat laporan keuangan pribadi mereka. Gol dari sesi ini adalah peserta mampu menuangkan posisi kekayaan dan arus kas mereka ke dalam angka-angka, sekalipun masih berbentuk statistik yang sederhana.

Tujuan lebih lanjut yang diharapkan adalah peserta mampu membuat perencanaan keuangan untuk meningkatkan harta atau kekayaan mereka, sekaligus mengefisienkan pengelolaan arus kas sehari-hari. Sesi yang dikemas menggunakan metode simulasi ini cukup menarik. Peserta dijamin tidak akan terkantuk-kantuk mendengarkan ceramah yang membosankan, karena semua aktif menghitung posisi keuangannya.

Sekalipun hanya simulasi, peserta diharapkan mengisi angka-angka yang mendekati keadaan mereka sebenarnya pada form pelatihan yang sudah disiapkan. Ini berguna untuk mendapatkan gambaran yang realistis dari posisi keuangan mereka, sehingga fasilitator mudah memberikan input apabila ada permasalahan-permasalahan teknis yang dihadapi peserta.

Beberapa kesalahan praktis saat mengisi form yang disiapkan pun seringkali terjadi. Kesalahan-kesalahan ini pada umumnya disebabkan oleh masalah kekurangpahaman terhadap definisi teknis pembukuan, juga konsep manajemen keuangan yang belum merata di antara semua peserta.

Beberapa contoh kesalahan tersebut antara lain:

1.Menganggap terima arisan sebagai pendapatan dan investasi. Padahal tidak tepat dikatakan demikian. Arisan tidak bisa dimasukkan menjadi pendapatan karena kita dan kawan-kawan komunitas sebenarnya menyetor iuran setiap periode tertentu yang pada saatnya nanti akan ikut kita terima juga. Arisan lebih cocok dimasukkan ke dalam aktiva pribadi sebagai piutang karena pada saatnya nanti akan kita terima totalan uang arisan yang kita sisihkan per bulan misalnya. Setiap kali kita menyisihkan iuran arisan, sebenarnya kita sedang meng-kreditkan pos kas masuk ke pos piutang. Pada saatnya diterima nanti, piutang akan berkurang di kembalikan pada kas. Kesalahan berikut adalah menganggap arisan sebagai investasi. Padahal jumlah uang pada arisan tidak akan bertambah selama kita simpan seperti bunga deposito di bank, jadi tidak tepat sebenarnya disebut investasi.

2.Tidak memasukkan nilai ekonomis. Kesalahan berikutnya yang lumayan sering terjadi adalah posisi aset yang tidak riil karena peserta tidak memasukkan nilai ekonomis asetnya. Misalnya: harga rumah yang dimasukkan ke dalam form masih menggunakan harga rumah pada saat pertama kali dibeli lima tahun yang lalu, padahal seiring waktu dan inflasi harga rumah mestinya meningkat. Jadi yang dimasukkan adalah nilai ekonomis, atau harga rumah terkini. Sebaliknya, aktiva seperti sepeda motor atau mobil yang sudah dimiliki bertahun-tahun mestinya mengalami penyusutan nilai jadi tidak bisa lagi dimasukkan nilai perolehannya.

3.Tidak menghitung piutang sebagai aset. Kadang beberapa orang tidak mau menghitung uang yang pernah dipinjamkan kepada kawan atau keluarga sebagai aset. Mereka beralasan utang seperti itu anggap saja sebagai uang mati karena segan untuk menagih kembali. “Tidak enak sama keluarga,” beberapa orang berkata seperti itu. Padahal setelah diminta menghitung lebih cermat, barulah kelihatan ternyata piutang pada keluarga atau kawan ini lumayan besar juga, cukup berkontribusi pada posisi kekayaan atau aset mereka. Kalau memang mereka merelakan piutang itu tidak akan ditagih kembali, mestinya di laporan keuangannya dianggap sebagai kerugian karena mengurangi aset.

4.Menghitung saldo hutang/kewajiban sebagai biaya. Suatu kali saya terkejut begitu seorang bapak, salah satu peserta, mengatakan bahwa arus kasnya (perhitungan pendapatan dan biaya) tekor puluhan juta. Mestinya ada yang miss dalam pengisian form-nya. Karena kalau setiap bulan selisih minus biaya dan pendapatan sudah sampai puluhan juta, bagaimana cara bapak tersebut dan keluarganya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah diperiksa barulah ketahuan, ternyata bapak itu memasukkan saldo kewajiban/utangnya sebagai biaya. Jadi utang KPR, utang kendaraan bermotor seluruh saldonya di masukkan ke dalam pos biaya. Pantas saja. Saldo utang tadi mestinya masuk ke pasiva sebagai kewajiban. Lawannya adalah aktiva yang sudah disesuaikan nilai ekonominya. Di pos biaya cukup dimasukkan saja pembayaran setiap bulan yang dikeluarkan. Setelah disesuaikan seperti itu, barulah ketahuan arus kas yang sebenarnya dari bapak tadi.

Sekalipun di awal sesi fasilitator sudah menjelaskan definisi dari tiap pos keuangan dan cara mengisi form yang disiapkan, pasti selalu ada masalah-masalah praktis pengisian seperti yang sudah dicontohkan di atas.

Hal ini jadi salah satu indikator saja, masyarakat kecil kita memang masih butuh banyak pendampingan dalam hal pengelolaan dan perencanaan keuangan mereka. Bicara financial planning bukan cuma pembicaraan milik orang-orang berduit tebal saja yang punya aset ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Orang-orang kecil yang mengelola sen demi sen rupiah pun harus memiliki “wawasan” yang sama dalam mengelola keuangan mereka. Seringkali kami menemukan tuturan yang cukup mengharukan dari peserta-peserta pelatihan kami. Mereka berkata, selama ini kami selalu merasa jadi miskin, menyalahkan keadaan dan bahkan menyalahkan Tuhan. Padahal dengan pengelolaan keuangan yang tepat, membiasakan diri untuk menabung dari hasil bertekun dan berhemat, kebutuhan sehari-hari masih bisa dipenuhi dengan baik. Bahkan masih ada aset yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan di masa depan.  Jadi jika ada yang mau disalahkan, mungkin orang yang paling pertama itu adalah diri kita sendiri.

Salam Kompasiana (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline