Menjelang pileg tanggal 9 April nanti, gempuran iklan politik yang disuguhkan para calon legislatif semakin intens menggempur pandangan kita. Rasanya sejauh mata memandang, hanya wajah-wajah caleg saja yang nampak. Wajah dan tagline mereka hampir memenuhi semua spot iklan di pinggir jalan raya kita. Di luar spot yang disediakan pun ada, seperti di batang pohon, tembok ruko sampai pembatas jembatan di atas parit. Tentu saja harapannya, iklan-iklan tersebut mampu menarik perhatian masyarakat yang akan mencoblos nanti.
Tapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sejauh apa iklan-iklan model demikian mempengaruhi persepsi masyarakat yang akan memilih nanti? Apakah modal tampang dan tagline sudah cukup untuk menjadi alat meraup suara sebanyak-banyaknya? Padahal membangun sebuah citra diri tidak lebih mudah dari membangun kekuatan sebuah merek (brand). Para pelaku bisnis pemasaran pun (mari kita asumsikan mereka lebih profesional dalam hal ini) mesti jatuh bangun dan membutuhkan waktu panjang untuk memastikan merek mereka tertanam lekat-lekat di benak konsumennya.
Belakangan ini, marketing communication atau yang lebih dikenal dengan sebutan marcomm sudah melebur ke berbagai bidang, tidak saja menjadi bahasa para pelaku usaha. Dunia politik pun sudah menggunakan perangkat marcomm sebagai salah satu strategi memenangkan hati para pemilih, selain strategi-strategi kampanye konvensional yang lebih dulu dikenal. Masyarakat kita masih cenderung mengutamakan kharisma atau citra diri seseorang untuk menentukan pilihannya. Maka dalam pemasaran politik, personal branding memegang peranan yang cukup penting.
Ironisnya, belum banyak caleg yang benar-benar memahami konsep personal branding ini sehingga seringkali konsep pemasaran mereka terkesan sporadis dengan pesan-pesan yang mengambang. Bukannya mengundang simpati masyarakat malah banyak yang dibuatnya antipati. Agak berbeda dengan Cara membangun personal branding yang dilakukan oleh capres. Mereka lebih terpadu, bahkan sudah mahir memainkan media mix untuk membentuk persepsi dan menanamkan visi misinya ke benak masyarakat.
Nah, ternyata banyak persamaan jika kita menghubung-hubungkan pemasaran politik dan konsep marcomm yang sudah umum. Bertolak dari itu, ada beberapa hal yang membuat personal branding para caleg kita menjadi kurang maksimal.
Tidak Memiliki Keunikan
“Unik” dapat menjadi kata kunci yang menentukan hidup matinya sebuah produk. Keunikan dari segi kualitas, fitur maupun harga produk membantu membentuk positioning produk tersebut. Mari kita lihat spanduk atau poster caleg di sekeliling kita, tagline-nya kadang mengambang dan mirip satu sama lain. Pesan yang ditawarkan pun itu-itu saja, “sahabat rakyat kecil”, “mari berantas korupsi”, “wujudkan Indonesia baru” dan pesan-pesan sejenis. Atau malah ada yang lebih simpel lagi, cuman wajah dan kata-kata “Coblos nomor 8!”, “Coblos nomor 12!”dan seterusnya. Jarang ditemukan tagline yang begitu kuat tertanam di benak masyarakat. Dalam proses pemilihan caleg yang melibatkan puluhan kandidat dari berbagai partai, masyarakat membutuhkan sosok yang bersinar, seperti mutiara di tengah kerikil.
Tidak Inovatif
Dalam marcomm kita mengenal strategi integrated marketing communication. Melalui strategi ini, pesan-pesan mengenai produk yang dipasarkan menggempur panca indra kita secara terpadu, dengan mekanisme yang kadang tidak disadari untuk memastikan produknya tertanam di benak calon konsumennya. Banyak perusahaan yang telah sukses memasarkan produknya dengan konsep seperti ini. Sebagai contoh, saat mendengar jingle tertentu, tanpa perlu melihat keseluruhan iklan, kita langsung tahu “Ooh, itu iklan handphone X” , atau saat kita tiba-tiba sakit kepala, ada obat sakit kepala tertentu yang muncul di pikiran kita. Bukan karena kita pernah menggunakan sebelumnya tapi, karena merek obat itu muncul begitu saja. Itulah dampak canggihnya
Rasanya belum banyak caleg kita yang menggunakan strategi ini sebagai strategi kampanyenya. Masih banyak yang latah menggunakan spanduk, poster atau kartu nama sebagai alat pencitraan paling utama.
Padahal cara ini adalah cara usang dan menimbulkan kesan pasaran. Dengan perkembangan dunia marcomm yang semakin canggih, masyarakat kita semakin tidak melirik cara-cara usang. Boleh sebagai sarana promosi pendukung, tapi jangan jadi sarana utama. Beberapa caleg sudah membuat terobosan dan inovasi yang mungkin lebih mampu mendaratkan pesan di hati pemilihnya. Misalnya ada caleg yang mensponsori sebuah event orang muda. Lalu mengambil waktu sebentar di tengah-tengah event untuk menyampaikan visi misinya kepada peserta event. Ada caleg yang menjalin silahturahmi dengan masyarakat di dapilnya melalui kunjungan langsung. Kalau mau lebih “nendang” juga bisa menggunakan media mix seperti beberapa capres kita. Jadi bukan cuman lewat poster atau spanduk saja, tapi juga media televisi, surat kabar, medsos dan lain-lain. Tapi berbicara media mix, masalah dana kampanye memang sangat menentukan.
Masa kampanye singkat
Mungkin sebagian besar caleg masih menyamakan masa kampanye dengan masa branding atau pemasaran merek. Padahal masa pemasaran ini berlangsung dalam durasi yang panjang. Tahap-tahap sebuah produk nyantol di hati konsumennya mulai dari tahap diketahui, dikenal, disukai dan menjadi pilihan utama butuh waktu bulanan bahkan tahunan. Situasi yang sama juga sebenarnya berlaku untuk personal branding. Jadi aneh saja, masih ada caleg yang hanya mau mengandalkan masa kampenye untuk jor-joran membangun pencitraan. Mestinya pencitraan ini telah dibangun jauh hari sebelum caleg mengajukan dirinya di sebagai salah satu opsi di depan publik. Dalam hal ini kita bisa mencontoh perjalanan karir seorang Jokowi. Dia berhasil membangun positioning politiknya dari bawah, jauh hari sebelum dia masuk dalam bursa capres.
Namun bagaimanapun juga, pilihan akhir akan jatuh di tangan masyarakat. Sebelum jari dicelup dalam botol tinta masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Apalagi bicara politik, dunia yang sangat dinamis, bahkan cenderung absurd. Teori pemasaran ini pun bisa saja terjungkal balik begitu dihadapkan pada kenyataan di lapangan. Yang penting adalah kenali secara seksama siapapun calon legislatif kita, agar kita mampu mencoblos dengan bijak. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H