Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Kupu-kupu Merah

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Eliaaahhh…..!!!!!”
Untuk kesekian kalinya, Tedi berteriak menyebut nama sobatnya itu.
“Udah … kita balik aja ke Gotong Batu terus lapor sama Kepala Desanya,” Sukma yang nampak sama putus asanya mencoba memberi saran.
“Iya, Di. Sudah hampir seharian kita keliling hutan ini. Bentar lagi mahgrib…,” sambung Aldo.
Tedi pun nampak berpikir keras beberapa saat.
“Okeh…, ayo panggil mas Sujud. Kita balik saja ke Gotong Batu sekarang….”

********

Untunglah larik cahaya matahari yang menembus rimbunnya pepohonan sedikit menerangi gelapnya rimba. Eliah berjalan tertatih di antara sulur beringin. Sepatu ketsnya menyibak daun-daun kering yang berserakan di tanah berbau humus. Sesekali pemuda itu menyeka darah yang merembes di bawah lututnya. Tangan yang satu lagi menghempas poni lebat yang menutupi sebagian keningnya agar pandangannya lebih mudah mengitari keadaan di sekitarnya. Sebuah kamera DSLR berayun-ayun di sekitar bahunya. Kerongkongannya terasa kering karena sejak tadi dia berteriak memecah keheingan hutan. Sialnya air mineralnya kini hampir  tandas.

Aneh. Padahal sepertinya tadi dia cuma terpisah belasan meter saja dari rombongan kawan-kawannya, sekarang tidak ada sama sekali tanda-tanda kehadiran mereka.

Setelah berjalan beberapa langkah, Eliah memutuskan untuk berhenti dan rehat sejenak dipayungi pohon gaharu. Ransel biru gelap yang membekap punggungnya dirogohnya dalam-dalam, sebuah smartphone dikeluarkan lalu kembali dicek. Eliah mendengus kesal, kali ini smartphone itu rupanya low batt berat sehingga tidak bisa dinyalakan sama sekali.

******

Ini semua gara-gara kupu-kupu dengan sayap berwarna merah cerah yang tadi mengusik perhatian Eliah. Kupu-kupu itu tiba-tiba melintas di depan Eliah dan hingga diatas kuntum kembang hutan. Eliah bermaksud mengambil gambar kupu-kupu itu dengan kameranya hingga sejenak memisahkan diri dari barisan kawan-kawannya yang menyusuri jalan setapak di tengah hutan itu. Namun begitu dia mendekat dan mengatur fokus kamera, kupu-kupu itu serta merta terbang dan hingga di kuncup kembang hutan yang lain. Eliah pun perlahan mendekat sambal memastikan dia masih bisa melihat rombongan kawan-kawannya.

Kali ini Eliah hampir menangkap buruannya namun jepretan kameranya rupanya bersamaan dengan sapuan angin yang mengejutkan kupu-kupu itu sehingga dia pun terbang menjauh dan hinggap di dedaunan tak jauh dari situ. Eliah merasa kupu-kupu itu seperti sedang mempermainkannya. Tapi dia tidak mau menyerah, kembali berjingkat mendekat ke arah kupu-kupu merah itu. Saking fokusnya, dia tidak melihat kalau saat itu dia memijak akar pohon berlumut yang menyembul di permukaan tanah  sehingga dia pun jatuh terjerembab.

Celakanya tanah di sekitar situ ternyata tidak datar sehingga kemiringan tanah membuat Eliah terguling menembus semak belukar yang memagari tepi jurang terjal.

Eliah pun terseret ke bawah. Untunglah jurang itu dipenuhi perdu dan tanaman rambat yang lebat sehingga walaupun terjungkal beberapa kali sebelum terhempas ke dasar jurang, Eliah masih bisa memaksa oksigen memenuhi paru-parunya.

Pandangannya nanar sesaat. Tapi dia memaksa diri untuk menegakkan kepala dan memastikan keadaannya. Sepertinya semua anggota tubuhnya masih utuh… dan masih bisa digunakan. Sesaat kemudian dia merasa nyeri datang dari lutut kirinya, terlihat darah segar mengucur pelan disitu. Memang dia merasa tadi lututnya terantuk keras, mungkin terkena batu, kayu atau entah benda apa tadi. Beberapa sudut kamera kesayangannya juga penuh dengan tanah. Untunglah lensanya tidak kenapa-kenapa padahal tadi dia terguling beberapa kali.

Tapi bukan itu yang perlu dikhawatirkan sekarang. Tadi kawan-kawannya tidak tahu kalau dia memisahkan diri dari mereka. Eliah pun bangkit dan tertatih menyusuri lautan labu hutan yang memenuhi dasar jurang itu. Sayup-sayup telinganya menangkap suara percikan air. Ahh, rupanya ada sungai kecil yang mengalir di bawah jurang itu. Eliah jadi merasa haus, dan membuka ranselnya yang belepotan tanah hitam di sana-sini untuk mengambil botol air mineralnya sekalian smartphone disitu.

Tapi Eliah kelihatan kecewa berat memandang layar smartphone-nya. Icon tidak bisa menangkap sinyal tertera disitu.

Eliah mengutuk dirinya sendiri. Tapi dia harus mencoba sesuatu. Sebelum mencari cara naik kembali ke atas, dia pun memikirkan untuk berteriak sekeras-kerasnya dari bawah situ. Siapa tahu kawan-kawannya saat ini sudah sadar kalau dia menghilang, dan bergerak mencarinya. Dia pun mengambil napas dalam-dalam, lalu…

“TEDDEEEIIIIII…….!!!!!! SUKMAAAAA……!!!! WOIII…..!!!! AKU DISINI……!!”

Terdengar lamat-lamat gema dari seruannya. Tapi setelah itu… senyap. Hanya suara air mengalir yang terdengar di tempat itu.

“WOIIII……. AKU DISINI…..!!!!!”

“TEDDEEIIII……!!! ALDOOO……!!!!”

“SUKMAAA…..!!!! SIAPA SAJAA……!!!”

Eliah hampir kehilangan suara berteriak. Tapi hanya desiran angina saja yang menyahutinya. Akhirnya dia pun memutuskan untuk mulai mencari jalan kembali ke atas jurang.

Sebenarnya pemandangan di bawah situ cukup menggodanya untuk kembali mengarahkan kamera, tapi suasananya sekarang jauh berbeda. Dia terpisah entah seberapa jauh dari kawan-kawannya di tempat asing yang sama sekali belum pernah didatanginya, jauh dari jangkauan komunikasi dengan kaki kiri cedera yang dipaksa bekerja untuk sementara. Orang waras manapun pasti sejenak melupakan keisengannya menjepret sebelum menemukan kejelasan nasibnya.

Akhirnya setengah jam kemudian, yang rasanya berjam-jam, Eliah berhasil mendaki kembali jurang itu dengan bantuan akar dan sulur tanaman-tanaman yang memenuhi bibir jurang.

Setibanya di atas Eliah menghempaskan diri di atas rerumputan. Kening dan seluruh badannya basah oleh keringat. Nafasnya masih terdengar memburu.

Tapi beberapa saat kemudian, Eliah merasa begitu nyaman. Rimbunnya pepohonan yang memayungi hutan dan mengalirkan oksigen segar membuat suasana begitu teduh. Eliah pun menyunggingkan senyum di bibirnya. Hampir-hampir dia terlena dan terlelap.

Eliah pun menghembuskan napas panjang lalu bangkit dan memandang ke sekitarnya. Rasanya ini bukan tempat dia terjatuh tadi. Sepertinya dia sudah semakin jauh dari kawan-akwannya. Dia pun mengambila napas panjang lalu mulai berteriak memanggil kawan-kawannya lagi.

****************

Setelah merasa bisa memulihkan tenaganya lagi, Eliah berdiri dari akar gaharu yang menyembul ke permukaan, lalu mencoba melangkah lagi. Arlojinya sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Udara di sekitar situ memang semakin sejuk rasanya. Jantung Eliah berdebar kencang. Dia tiba-tiba membayangkan jika hari sudah gelap dan dia belum juga menemukan kawan-kawannya atau jalan keluar dari hutan itu ke desa terdekat. Jantungnya pun berdetak kencang.

Sekali lagi Eliah mengutuki dirinya. Kalau saja dia tidak memilih berada di urutan paling belakang tadi bersama rombongan. Kalau saja tidak ada kupu-kupu merah yang melintas di depan hidungnya. Kalau saja dia tidak tergoda mengambil gambar kupu-kupu itu, kalau saja dia tidak terjatuh, semua ini pasti tidak akan terjadi. Kalau saja…..

Sambil menyusuri rerumputan dan semak, doa-doa singkat pun dipanjatkan. Ketakutan mulai menyelimuti hatinya, seperti tangan-tangan malam yang mulai menyusupi relung-relung hutan. Dia mulai memaksa kakinya berjalan lebih cepat lagi, sebelum telinganya menangkap suara harapan.

Eliah berhenti sejenak untuk memastikan pendengarannya. Ya, kedengarannya suara teratur ini seperti suara palu yang beradu dengan paku, di suatu tempat di dalam hutan itu. Eliah pun mencoba mencari asal suara itu. Tidak berapa lama kemudian, dari kejauhan dia melihat sebuah pondok mungil di kelilingi rimbunnya ketela pohon. Eliah mendekat perlahan. Rasa penasarannya mengalahkan rasa ketakutannya.

Kini suara palu itu benar-benar jelas. Seorang kakek dengan rambut memutih yang dibiarkan berserakan di bahunya sedang memaku bilah papan pada barisan papan lainnya yang menjadi dinding pondoknya.

Kakek itu sepertinya menyadari kehadiran orang lain di sekitar pondoknya sehingga dia berhenti dan berpaling ke arah Eliah.

“Eh, ada tamu rupanya….”

Eliah terkejut. Padahal tadi dia punya segudang tanya yang ingin diucapkan tapi melihat pandangan si kakek yang dalam dan menyejukkan dia mendadak kehilangan kata-kata.

“Ayo, kesini, nak. Tidak usah takut… ,”

Kaki Eliah pun bergerak maju, padahal sebenarnya pikirannya masih ragu.

“Ak…. aku….,” Eliah mencoba membuka kata begitu sampai di hadapan kakek. Tapi suaranya terdengar hampir habis.

Dengan gesit kakek menarik tangan Eliah ke arah depan rumah. Disitu ada balai-balai dari bambu. Kakek mempersilahkan Eliah duduk dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian dia keluar sambil membawa kendi tanah liat, dan gelas plastik. Kakek pun menuangkan air dari dalam gelas dan mempersilahkan tamunya minum.

Sekali teguk, Eliah langsung menghabiskan isi gelas itu. Ah rasanya segar sekali.

“Terima kasih, kek….”

Kakek terkekeh.

“Syukurlah, ternyata kamu bersuara seperti orang, nak. Mbah pikir tadi hantu penunggu hutan yang nyasar. Hehehe… Mmh… orang-orang kampung memanggilku mbah tukang.”

Eliah manggut-manggut. “Terima kasih, Mbah..”

Mbah Tukang terkekeh lagi.

“Oh ya, namaku Eliah, Mbah,” Eliah berucap lagi sambil bersalaman.

“Mmh…Nak Eliah ada keperluan apa ya sama mbah?”

Eliah menggaruk kepalanya.

“Sebenarnya…. Sebenarnya aku tersesat nih mbah.. Aku tadi muter-muter ndak jelas, sampai akhirnya nyasar kesini.”

Mbah Tukang terpekur.

“Terus kamu mau kemana, nak??”

“Aku sama teman-teman tadi sebenarnya meninjau sisa peninggalan kompeni Belanda di tengah hutan. Untuk keperluan penelitian kampus. Kami dipandu salah satu warga desa, tapi….. di perjalanan aku terpisah dari rombongan. Aku mau motret kupu-kupu berwarna merah. Tapi tahu-tahu terperosok ke jurang,”

“Kamu tidak kenapa-kenapa?” Mbak Tukang memotong ucapan Eliah.

“Cuman lutut yang rada perih, sepertinya terbentur. Tapi tidak parah kok, Mbah. Ng.. makanya sekarang saya mau minta petunjuk ke arah mana biar bisa balik ke desa Gotong Batu lagi.”

Mbah tukang mengangguk-angguk, lalu menepuk pelan bahu Eliah.

“Nak, andai Mbah tidak kejar target mesti menyelesaikan dinding pondok ini sebelum Mahgrib, Mbah bersedia ngantar kamu ke Gotong Batu. Ada anak Mbah yang tinggal disana. Tapi gini,… kamu ikut saja arah matahari terbenam, ke arah barat. Kesitu arah untuk keluar dari hutan ini ke Gotong Batu.”

Mbah kemudian membulatkan pupil matanya. “Tapi kamu sudah harus keluar dari hutan ini sebelum matahari terbenam. Kalau tidak, kamu bakal tidak bisa keluar-keluar lagi.”

Bulu kuduk Eliah merinding tiba-tiba. “Serem amat,” batinnya.

“Serius Mbah??” tanya Eliah.

“Iya. Makanya sekarang kamu cepat-cepat pergi. Lihat matahari semakin condong ke barat. Kamu tidak usah takut, nak. Mbah bisa melihat ketulusan dalam diri kamu. Ikuti suara hati kamu, maka kamu bisa keluar dengan selamat.”

Eliah mau memohon lagi, tapi Mbah Tukang kembali menalukan palu-palunya ke arah papan-papan yang menghias dinding pondoknya. Gelagatnya juga seperti enggan diganggu lagi.

Eliah pun segera mohon diri dan berjalan ke arah sinar matahari yang mulai memerah di ufuk barat.

***********

Kini gema suara palu Mbah Tukang sudah tak terdengar lagi, pertanda pondok di tengah hutan itu sudah berada jauh di belakang. Arloji yang membelit tangan kiri Eliah sudah menunjukan pukul lima lewat dua puluh lima menit. Udara mulai mendingin, dan cahaya matahari semakin sayu.

Eliah nampak semakin gundah gulana. Tak lama lagi hutan akan menjadi gelap. Tapi sepertinya belum ada tanda-tanda dia berhasil menuju ke tepi hutan. Sejak tadi yang dilihatnya hanyalah pepohonan yang menjulang tinggi, belukar dan tanaman liar lainnya.

Eliah memalingkan wajah ke belakang pertanda ragu. Sejenak muncul niat untuk kembali ke pondok mbah Tukang. Mungkin jika dia tidak bisa keluar malam ini, dia bisa menumpang semalam di pondok kakek baik itu.

Eliah terkejut. Tiba-tiba dari arah belakang muncul kawanan besar kupu-kupu yang terbang ke arahnya. Refleks Eliah menunduk sambil melindungi wajahnya. Tapi rupanya kawanan kupu-kupu itu terbang melintas di atas kepalanya. Kini rasa terkejutnya, berganti perasaan kagum. Banyak sekali kupu-kupu berwarna merah dalam rombongan besar itu. Sebagian lagi kupu-kupu dengan sayap berwarna kuning terang.

Ajaib! Setelah sampai beberapa meter di depan Eliah, mereka memisahkan diri. Kupu-kupu merah terbang ke arah kanan, sedangkan kupu-kupu kuning terbang ke arah kiri. Konvoi kupu-kupu itu berlangsung cukup lama, sampai seluruh kupu-kpu terpisah menjadi dua dari rombongan terbang semula.

Eliah terdiam beberapa saat. Apa ini semacam petunjuk? Dia harus memilih antara arah yang ditunjukkan kupu-kupu merah atau kupu-kupu kuning. Tanpa banyak pikir lagi Eliah segera memaksa tubuhnya mengejar kupu-kupu berwarna kuning. Kupu-kupu berwarna merah tadi hampir membuatnya celaka. Itu hanya satu kupu-kupu, bagaimana kalau satu rombongan yang diikutinya?

Dengan sisa-sisa tenaganya Eliah berusaha mengikuti arah yang ditunjukkan kupu-kupu kuning. Rombongan besar telah jauh menghilang di depan, hanya ada satu dua ekor yang tercecer dari rombongan yang masih hinggap di pucuk-pucuk kembang hutan. Tapi semakin lama Eliah semakin kehilangan jejak.

Saat itu malam mulai menunjukkan kuasanya. Jarak pandang semakin pendek, karena sudut-sudut hutan sudah dikuasai gelap. Walaupun sudah menguras hampir seluruh tenaganya, sepertinya dia masih terjebak dalam barisan pohon-pohon raksasa. Eliah hampir menangis karena kebingungan. Air mineral pun sudah tandas. Dalam keputusasaan dia kembali memanjatkan doa, walaupun dia merasa pikiran logis-praktisnya pun sedang menertawakan kebodohannya saat itu.

Tiba-tiba sayup-sayup dia mendengar kumandang azan mahgrib dari kejauhan. Sontak Eliah mengangkat wajahnya. Sulit menduga arah sumber suara di tengah hutan seperti itu, tapi kini nampak cercah harapan di mata Eliah. Dia pun kembali melanjutkan perjalanan, kini dia tidak mau terlalu banyak berpikir lagi. Dibiarkannya hati nurani memandu langkah demi langkah.

Kelihatannya kali ini Eliah berhasil. Dari kejauhan nampak satu dua cahaya lampu listrik. Suara azan pun terdengar semakin jelas sesekali diselingi suara deru sepeda motor. Eliah tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Namun ekspresinya hanya ditunjukan dengan satu tetes bening yang mengalir dari sudut matanya. “Terimakasih ya Tuhan…..,” batinnya.

Begitu sampai pada rumah terdekat, Eliah mengucap salam. Di teras rumah ada beberapa kursi plastik kusam. Eliah merasa sangat lelah sehingga tanpa menunggu jawaban dia langsung merebahkan pantat dan tas ranselnya disitu.

Seorang bapak ceking mengenakan kaos oblong dan sarung keluar dari dalam rumah.

“Maaf mengganggu, pak… Ng,.. nama saya Eliah pak. Mau Tanya apa benar ini desa Gotong Batu, pak?”

Si bapak bukannya menjawab. Malah melotot ketakutan..

“Si..siapa tadi namanya?,”

Eliah sedikit heran…”Eliah…”

Bapak langsung masuk ke dalam rumah. Kedengarannya terjadi sedikit keributan di dalam, sebelum bapak itu keluar kembali. Kali ini dia tidak sendiri tapi diikuti seorang ibu berambut ikal, kelihatannya istrinya, di ujung daster si ibu bergelayut seorang bocah perempuan.

Ibu itu memandang Eliah lekat-lekat lalu melihat layar HP-nya.

“Ini beneran Eliah?? Eliah….. mahasiswa!??” tanya si Ibu

Eliah tambah heran. “Iya, bener bu.”

Si ibu lalu menyodorkan HP-nya dan membiarkan Eliah melihat sendiri layar HP tersebut. Sebuah foto selfie bertiga terpampang disitu. Eliah berbinar seketika.

“Ini teman saya bu. Aldo sama Tedi…Rupanya mereka sudah mencari sampai kesini ya bu.  Saya memang seharian ini tersesat di hutan. Ini baru ketemu jalan keluar,..”

Ibu dan bapak ikut terheran-heran…

“Seharian?” sambung si bapak lirih. “Kamu sudah hilang seminggu, nak…”

Eliah membisu seketika.

“Ini foto yang dikasih teman kamu minggu lalu,” sambung si Ibu. “Tiga hari lamanya warga desa dan tim SAR menyusuri hutan untuk mencari kamu, tapi tidak berhasil.”

“Bapak ibu kamu sampai nginap di rumah kepala Desa menunggu hasil pencarian. Baru kemarin dulu mereka balik ke kota. Mereka nampak sedih sekali, nak.”

Eliah masih membisu. Otaknya sedang berusaha mencerna kata demi kata yang didengarnya. Seluruh pengalamannya di hutan pun bermunculan berlomba mengisi layar utama film yang sedang dimainkan Eliah dalam pikirannya.

Bapak dan ibu pun saling berbisik, lalu si Ibu buka suara lagi.

“Ya sudah. yang penting sekarang kamu tidak kenapa-kenapa. Ayo masuk ke dalam dulu, nak. Ibu buatkan minum dulu. Nanti bapak akan menghubungi kepala desa biar segera kesini setelah maghrib.”

Eliah pun melangkah pelan ke dalam rumah, mengekor si ibu. Sepertinya segelas air memang pilihan tepat saat ini. Untuk memuaskan dahaganya sekaligus untuk menenangkan hatinya yang sedang berkecamuk.

Dari dalam rumah, Eliah bisa mendengar suara si bapak yang sedang menelpon kepala Desa di teras rumah. Samar-samar Eliah bisa mengikuti percakapan mereka….

“…anaknya udah ketemu pak…

iya, tidak kenapa-kenapa…..

jangan-jangan ditahan mahkluk penunggu hutan pak… dia hanya bilang seharian tersesat

Iya, pak. Tadi sore ada rombongan kupu-kupu kuning, saya pikir tamu siapa yang bakal muncul di desa kita, rupanya si Eliah ini keluar dari hutan….”

Suara motor yang melintas di luar menutupi suara percakapan mereka. Eliah pun mengalihkan perhatiannya pada foto-foto yang terpampang di dinding belakang pesawat televisi. Disitu nampak foto perkawinan, foto wisuda, dan sejumlah foto-foto jadul lainnya. Ketika pandangannya sampai pada salah satu foto, Eliah kelihatan terpaku, dia sangat mengenal foto itu. Foto hitam putih itu adalah foto milik seorang bapak setengah baya berambut panjang yang dikuncir ke belakang. Walaupun pada foto itu sedikit berbeda, sorot mata dan senyumnya persis sekali dengan kakek yang dia temui di hutan.

“Mbah Tukang??” gumamnya.

Pada saat yang bersamaan ibu rumah muncul ke ruang tamu membawa sebuah ceret dan satu gelas kosong. Dia mendengar ucapan Eliah.

“Kenal dengan Mbah Tukang?” tanya si ibu.

“Mm… Saya ketemu Mbah Tukang tadi di hutan, beliau yang menunjukkan saya arah keluar hutan.”

Praaangg…!!!! Eliah kaget, gelas yang digenggam ibu jatuh ke lantai. Wajahnya kelihatan pucat pasi. Bapak di teras tergopoh-gopoh masuk ke dalam.

“Ada apa toh bu!??”

Eliah mau mengucapkan sesuatu tapi keburu dipotong oleh si ibu.

“Dia ketemu bapak di hutan, Mas….!!, “ kata ibu setengah berseru pada suaminya.

“Haah… bapak!!?? Bapak kan sudah meninggal 5 tahun yang lalu….!!!”

Kini giliran Eliah yang mendadak pucat pasi. Di tengah keterkejutannya, dia benar-benar yakin sekarang dia baru saja mengalami pengalaman luar biasa yang sudah berada di luar jangkauan logika manusia. (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline