Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Pilkada Langsung Maupun Lewat DPRD Sama Peluang Korupsinya

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Minggu ini perhatian kita cukup terkuras pada polemik RUU Pilkada yang pengajuannya dimotori oleh partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Sejumlah argumen pun disodorkan untuk mendukung pengesahan RUU tersebut. Sebagian besar argumen dititikberatkan pada efisiensi APBN dan alasan yang terdengar pragmatis, menjalankan amanah yang tertera pada sila ke empat Pancasila.

Memang dalam politik tidak ada prinsip yang abadi.  Sebelum Pilpres berlangsung, Koalisi Merah Putih terlihat anteng-anteng saja. Kini setelah jagoannya kalah, mereka pun mati-matian memperjuangkan RUU yang dipandang strategis untuk memapankan posisi mereka. Contoh lain, Partai Amanat Nasional pada masa reformasi dulu begitu getol memperjuangkan pemilihan langsung Kepala Daerah sebagai wujud penegakkan hak-hak demokrasi rakyat. Kebijakannya pun diketok palu pada saat Amien Rais menjabat sebagai Ketua MPR. Namun saat ini PAN bersama barisan Koalisi Merah Putih berbalik mendesak pengesahan RUU Pilkada tersebut. Sangat disayangkan memang. Walaupun dikemas dengan sejumlah pernyataan yang manis, manuver yang dimainkan Koalisi Merah Putih begitu eksplisit menunjukan arogansi politik mereka.

Namun di pihak lain, tidak sedikit pula yang kontra dengan RUU tersebut. Argumennya cukup jelas. Jika pemilihan kepala daerah kita kembalikan mekanismenya melalui legislatif di tingkat daerah, berarti proses demokrasi kita sebenarnya sedang berjalan mundur. Argumen lain yang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak adalah DPRD bisa jadi sarang mafia-mafia pilkada. Salah-salah, citra DPRD (juga DPR) yang sekarang sedang menjadi sorotan publik bisa tercoreng kembali. Salah satu sosok yang menunjukkan secara gamblang perlawanan terhadap RUU adalah Wagub DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang mengundurkan diri dari keanggotaanya di Partai Gerindra. Walau sebagian elite Koalisi Merah Putih jadi berang dan mencari cara membuat Ahok keseleo, dukungan dari rakyat terhadapnya juga datang bertubi-tubi.

Sah-sah saja Fadli Zon, salah satu pentolan Koalisi merah putih, berpendapat kalau pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD mampu menekan peluang korupsi kepada daerah setelah terpilih nanti. Karena seringkali mereka mengeluarkan biaya besar untuk berkampanye, dan saat terpilih menjadi Kepala Daerah, mereka mencari seribu satu kesempatan untuk membayar kembali biaya-biaya. Namun argumen Ahok  yang menyatakan politik uang tetap saja akan berpeluang terjadi kalau Pilkada lewat mekanisme DPRD  juga ada benarnya.

Tentu kita masih ingat sejumlah kasus suap dan transaksi poliltik yang menyeret para legislator kita ke dalam rumah prodeo. Rakyat pun tertohok pedih dengan legislatif kotor yang mencederai amanah mereka. Peristiwa-peristiwa seperti itu masih sama peluang terjadinya jika Pilkada dilangsungkan lewat mekanisme di DPRD.

Jadi kalau harus memilih saya lebih cenderung menolak RUU tersebut. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada DPRD, biarlah pemimpin daerah tetap dipilih oleh rakyatnya. Walaupun lebih mahal, tetapi tetap lebih amanah. Kalaupun para kandidat menggunakan politik uang, toh uangnya juga dinikmati oleh rakyat yang terdiri dari tim sukses dan para konstituen yang jumlahnya lebih banyak. Dibanding untuk menyuap oknum anggota DPRD yang pada umumnya sudah mapan hidupnya dan jumlahnya hanya segelintir orang.

Memang resikonya bisa mirip yang terjadi pada Presiden terpilih Jokowi versus Koalisi Merah Putih ini. Mayoritas rakyat Indonesia mempercayakannya sebagai RI 01 periode berikutnya, tapi mayoritas anggota DPR-RI adalah partai yang memutuskan untuk beroposisi dengannya. Akibatnya dalam pengambilan dan eksekusi keputusan-keputusan strategis, Jokowi termasuk partai-partai di belakangnya harus berjuang keras menghadapi derasnya perlawanan di tingkat legislatif pusat.

Mestinya kalau semua pihak, baik eksekutif maupun legislatif, kembali berefleksi kalau pada hakikatnya jabatan mereka itu adalah amanah dari rakyat, tidak akan banyak gontok-gontokan yang terjadi. Gesekan antara eksekutif dan legislatif itu wajar terjadi, tapi kalau semua orientasinya untuk kesejahteraan rakyat dan kemajuan negara, pasti selalu ada solusi terbaik yang ditemukan bersama. Tidak malah menjadi polemik yang menghabiskan energi dan meresahkan rakyat. Tapi memang lain ceritanya kalau yang diperjuangkan itu adalah kepentingan golongan atau pribadi saja. (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline