Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Walkout!

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendingin udara ruang rapat paripurna tidak mampu membendung pikiranku yang kalut. Perbedaan pendapat yang sengit, ditambah hujan interupsi membua keadaan lebih parah. Satu dua wakil fraksi sudah merapat ke meja pimpinan sidang sambil mencak-mencak satu sama lain. Huh, kini semakin susah membedakan mana wakil rakyat yang patriotik, pragmatis atau blunder. Semua tabiatnya sama.

Sebentar lagi nasib Rancangan Undang-undang yang menjadi polemik se-Indonesia Raya akan ditentukan. Namun entah mengapa di saat-saat nadir ini justru suara hati nurani semakin jauh gemanya. Aku dan juga legislator lain memang adalah produk politik. Kami harus tunduk pada mainstream di tengah-tengah partai. Itu sudah jadi rahasia umum. Tapi sesekali, aku dan beberapa kawan masih mendengar ketukan hati nurani.

Hanya saja kali ini agak lain atmosfirnya. Pasca Pilpres yang fenomenal, banyak perangai yang berubah, banyak kawan-kawan yang seperti menyimpang terlalu jauh.

Begitu ubur-ubur beracun bernama RUU Pilkada ini menyembul kepermukaan, aku sesekali mencoba bersikap sedikit “netral” di tengah-tengah kawan-kawan sekoalisi dengan mengambil sudut pandang lain saat bertutur kata dengan mereka. Tapi apa daya, aku hanya susu setitik dalam nila sebelanga. Seperti sensasi aroma dan rasa white coffee favoritku yang langsung raib begitu aku dan kawan-kawan berhimpitan di dalam lift, tenggelam oleh aroma Hermes, Shalini, Channel dan parfum-parfum sejenis. Begitu pula dengan suara-suara yang aku harap mampu menggedor pintu nurani kawan-kawan, hilang begitu saja saat kembali berhadapan dengan agenda dan notulen-notulen rapat.

Ah, aku teringat pesan singkat yang dikirim kawan lamaku di pedalaman Kalimantan. Kami dulu satu SMA dan satu universitas hanya saja berbeda jurusan. Aku mengambil jurusan Hukum, dia mengambil jurusan Teknik Sipil. Setelah yudisium, kami masih sering berkomunikasi paling tidak lewat SMS atau sosial media. Tapi komunikasi kami semakin jarang saat aku mulai terjun ke dunia politik. Dia tahu aku semakin sibuk, dan mungkin enggan membahas hal-hal remeh. Aku tahu dia juga sering harus bertugas pada proyek-proyek di pedalaman, yang seringkali berada di luar jangkauan sinyal telekomunikasi.

Dua hari lalu dia mengirim sebuah SMS yang menambah beban pikiranku. Begini bunyinya “Kawan, kami yakin kamu tahu RUU itu hanya akal-akalan politikus yg tidak mampu move on saja. Kami yakin kamu tetap berdiri pada jalan yang tepat, berpihak pada rakyat. Sekalipun partaimu masuk dalam koalisi itu. Salam dari rimba Kalimantan.

Aku bahkan baru ingat, sampai sekarang aku belum sempat membalas pesan itu.

Berpihak pada rakyat….

Yah, itu kata kuncinya. Jika kami “orang-orang terhormat” yang duduk di kursi empuk, difasilitasi mewah oleh negara ini tidak berdiri di atas aspirasi rakyat, lantas apa sebenarnya yang kami perjuangkan. Fenomena sosial media, beragam survey, demonstrasi dimana-mana sebenarnya sudah cukup jadi indikator apa sebenarnya yang diinginkan rakyat terhadap RUU ini. Kalau rakyat tidak setuju, lalu rakyat yang mana yang kami perjuangkan aspirasinya.

Gebrakan microphone, dan nada-nada tinggi beberapa “vokalis” dewan menyadarkanku. Kata-kata “walkout” mulai terdengar. Ini isyarat bahwa sebentar lagi skenario teman-teman se-fraksi akan dijalankan. Dengan demikian sudah hampir pasti koalisi kami memenangkan putusan terhadap RUU ini.

Aku menenangkan diri dengan mengambil dan membuang nafas panjang. Kawan-kawan mulai meninggalkan kursi empuk mereka. Desibel kegaduhan meningkat. Aku harus mengambil sikap saat ini. Apakah ikut walkout, atau bertahan untuk proses selanjutnya, voting.

Kini hampir seluruh anggota fraksi meninggalkan ruang paripurna. Yang tersisa tinggal segelintir saja. Dengan jumlah mereka ditambah suaraku nanti, tetap tidak akan bisa membalik keadaan. Jadi aku memutuskan untuk….. tetap tinggal!

Mas Jack memelototi aku. Dia memang harus tinggal sesuai skenario, tapi aku orang diluar skenario. Memang pada akhirnya hasilnya akan tetap sama. Tapi paling tidak, hari ini aku berdiri sebagai wakil rakyat yang merdeka.

Oh ya, aku harus membalas SMS seseorang yang masuk dua hari lalu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline