Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Menghargai Orang di Belakang Layar

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah, seorang manajer divisi pada salah satu perusahaan akan melakukan presentasi kinerja divisi yang dipimpinnya pada beberapa direksi perusahaan tersebut. CEO merasa manajer itu sudah layak dipromosikan karena selama ini telah menunjukkan prestasi kerja yang baik. Pada saat presentasi, direksi yang semula antusias mendengarkan pada akhirnya terlihat kecewa. Mereka meminta CEO mengkaji kembali rencana promosi manajer tersebut.

Ternyata kesalahan yang dilakukan manajer tersebut sebenarnya sederhana saja. Dia terlalu banyak menggunakan kata “saya” untuk mengganti kata “kami”. Direksi bingung, apakah kesalahan kecil namun “fatal” tersebut disebabkan oleh semangat yang berlebihan, ataukah memang manajer tersebut adalah tipe pemimpin yang egois…

**********

Dahulu karyawan dianggap sebagai tool manajemen belaka. Mereka hanya seperti “mesin” yang diprogram untuk bekerja mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Kompensasi diberikan seadanya. Fasilitas yang lebih baik dari perusahaan hanya diberikan kepada manajemen tingkat atas. Kini seiring perkembangan ilmu manajemen, karyawan pada level apapun sudah dianggap sebagai aset bagi perusahaan. Perannya sekecil apapun diperhitungkan sebagai bagian dari sebuah misi besar mencapai gol perusahaan. Seperti halnya kekayaan, karyawan harus dijaga, diberi value dan dikembangkan agar berkembang kapasitasnya dan meningkat loyalitasnya bagi perusahaan.

Salah satu strategi untuk mendukung hal tersebut adalah melakukan program-program untuk membangun teamwork yang solid dalam manajemen. Caranya bermacam-macam, setiap perusahaan atau organisasi modern memiliki caranya sendiri sesuai dengan budaya kerja mereka. Cara yang sudah sering kita lihat misalnya melaksanakan training yang bertema team building secara berkala, menerapkan sistem cell manajemen, memberi reward kepada divisi atau tim yang  grup yang paling tinggi pencapaian targetnya dan cara-cara lain.

Di luar strategi yang “kasat mata” tersebut, ada pula cara membangun teamwork yang diselipkan pada nilai-nilai yang dihayati perusahaan. Setiap pemimpin juga diharapkan memiliki kompetensi afeksi yang baik untuk membangun kekompakan kerja pada unit yang dipimpinnya. Kesalahan yang dilakukan oleh banyak pemimpin adalah mengabaikan begitu saja kontribusi orang-orang yang dipimpinnya. Memang mastermind prestasi sebuah tim adalah pimpinan, manajer, group leader, atau siapapun orang yang ditunjuk memimpin tim tersebut. Tapi untuk menerjemahkan konsep menjadi kinerja yang konkrit, dibutuhkan kerja manajemen mulai dari level paling atas sampai paling bawah, mulai dari orang-orang yang bekerja di belakang meja sampai orang-orang lapangan.

Maka seorang pemimpin yang baik menghayati bahwa setiap apresiasi yang ditujukan kepadanya juga ditujukan untuk orang-orang belakang layar yang berdiri di belakangnya. Begitu pula kritik yang datang kepadanya adalah kritik untuk kinerja tim yang dipimpinnya. Naik dan turunnya prestasi seorang pemimpin tergantung pada kualitas dan sistem kerja orang-orang yang dipimpinnya. Dengan demikian untuk meningkatkan kinerjanya, seorang pemimpin harus mampu menginspirasi dan mengarahkan orang-orang yang dipimpinnya agar bekerja dengan etos yang baik sesuai dengan bidang kerja masing-masing demi tercapainya gol organisasi.

Inilah yang membedakan seorang pemimpin dengan orang-orang yang dipimpinnya. Skill dan pengetahuan boleh sama, malah seringkali ditemukan skill bawahan lebih mumpuni dibanding atasannya. Tapi pemimpin dipilih karena mampu menjadi penggerak orang-orang disekitarnya. Pemimpin akan berdiri paling depan saat masalah menimpa timnya, dan berdiri paling belakang untuk memberi dorongan saat timnya sedang down.

Seringkali pula pemimpin harus hadir membaur di antara orang-orang yang dipimpinnya. Jarak memang harus diciptakan, tapi pada waktu-waktu tertentu jarak ini dikurangi agar para pemimpin bisa melihat lebih dekat dinamika yang sedang terjadi pada tim yang dipimpinnya. Masalah-masalah yang sulit dipecahkan dalam suasana legal formal, malah ditemukan solusinya dalam suasana santai dan penuh kekeluargaan di luar jam kerja.

Saat orang merasa diayomi oleh pemimpinnya, mereka cenderung lebih terbuka sehingga pemimpin mudah menemukan solusi jika terjadi masalah. Mereka juga akan lebih loyal dan terbuka terhadap arahan-arahan yang diberikan kepada mereka. Ini memudahkan para pemimpin mengelola tim yang dipercayakan kepadanya. (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline