Lihat ke Halaman Asli

[FFA] Tante Ida

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Nomor peserta 305)

Namaku Zidan. Aku sekarang duduk di kelas 4 sekolah dasar. Hobiku adalah bermain. Main apa saja yang penting ada yang menemaniku. Karena aku punya dua hari libur: sabtu dan minggu, makanya ada banyak waktu aku bisa bermain main.

Aku biasa bermain dengan temanku yang tinggal di samping rumahku. Aku juga biasa menginap di rumah teman sekolah saat hari libur. Kami biasa main game sampai larut malam. Makanya bunda biasa marah padaku. Tapi aku suka bermain, jadi kebanyakan waktuku adalah untuk bermain.

Namun semenjak Tante Ida datang, jadwal mainku jadi berkurang. Tante ida selalu marah kalau aku main ini dan itu. Aku selalu di suruh menyelesaikan tugas dari sekolah. Kalau tidak tugas dari tempatku les matematika. Biasanya kalau sudah kesal dan ingin sekali bermain, aku akhirnya mnangis. Tapi bukannya mengizinkan, Tante Ida malah menyuruhku untuk terus mengerjakan tugas.

***

Tante Ida adalah sepupu ayah. Itu yang dikatakan bunda sebelum tante ida datang ke rumah kami. Kata bunda, tante ida yang akan menjaga kami selama ayah dan bunda pergi kerja. Bunda juga bilang kalau tante ida itu baik. Aku senang-senang saja karena aku pikir, jika ada Tante da aku bisa langsung pulang ke rumah setelah belajar di sekolah. Dan tentu saja bisa bermain lagi.

Sudah hampir sebulan Tante Ida di rumah kami. Adikku Wildan tentu saja sangat senang kepadanya. Tapi aku tidak. Tante Ida mengurangi jatah mainku. Pernah aku bilang pada bunda kalau Aku tidak lagi lama saat bermain gara-gara Tante Ida. Bukannya membelaku, bunda malah bilang itu bagus.

Aku jadi kesal pada Tante Ida. Sekarang sebelum azan magrib, aku sudah harus berada di rumah. Setelah itu mandi dan pergi shalat berjamaah di masjid depan rumah. Setelah shalat aku disuruh mengaji, sahalat isya, terus belajar. Tante Ida benar-benar tidak mengizinkanku bermain sebelum tugas-tugasku selesai. Menyebalkan sekali bukan?

Tidak hanya saat malam. Sore-sore juga sama saja. Tante Ida selalu melarang.

“Aku mau pergi main ya Tan?” tanyaku. Sambil mengambil sepedaku. Sore ini aku akan pergi bermain sepeda dengan Alif, tetanggaku.

“Memang PR nya sudah selesai, Dan?” tanya Tante Ida.

“Belum. Nanti aku kerjakan setelah main sepeda.”

“Mending dikerjakan sekarang. Nanti tidak tante panggil-panggil lagi kan?”

“Aduh Tan, temanku sudah nunggu.”

“Biar tante yang bilangin kalau kamu mau kerja PR dulu.”

Tuh kan ... Tante Ida selalu gitu. Kalau sudah begini mau tidak mau harus ngerjain tugas dulu. Tentu saja mukaku cemberut dan sangat jengkel. Tante Ida tentu tidak peduli. Ia terus saja mengawasi dan mengajariku.

***

“Zidaaaaann!” suara Tante Ida mengagetkanku.

“Kenapa belum belajar? Besok kan ulangan!” lanjutnya lagi. Aku memang dari tadi main game.

“Nanti saja Tan,” ucapku masih menatap layar tv.

“Baiklah, tidak usah belajar kalau begitu.”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Tante Ida pun pergi. Wah, baru kali ini Tante Ida mengalah dan tidak melarangku bermain. Aku sangat senang tentunya. Sekarang aku bisa bermain sepuasnya.

Namun sejak hari itu Tante Ida berubah. Tante Ida tidak pernah lagi mengingatkanku soal belajar. Ia membiarkanku terus bermain. Tante Ida tidak pernah lagi berbicara padaku, tidak juga mengajariku. Padahal aku masih ulangan dua hari lagi. Tapi ... bagus juga, aku lebih leluasa bermain kini. Tidak ada lagi yang melarang-larangku.

***

Aku sangat sedih sekarang. Nilai-nilaiku di sekolah banyak yang menurun. Padahal banyak temanku yang mendapat nilai bagus, tapi aku malah sebaliknya. Bahkan nilai matematikaku yang dulunya 95 sekarang hanya 70.

Aku jadi teringat perlakuanku pada Tante Ida. Aku menyesal tidak mendengarkan apa yang ia katakan. Seandainya aku mengikuti perkataannya. Seandainya aku tidak bermain terus tiap hari. Kini aku mengerti mengapa Tante Ida selalu menyuruhku belajar dan melarangku banyak bermain.

Aku berjanji tidak akan membantah perkataan Tante Ida lagi. Aku janji. Aku juga akan minta maaf padanya.

“Tante Ida, maafkan aku ...” ucapku setiba di rumah lalu memluknya.

*****

Tulisan ini diikutkan dalam Festival Fiksi Anak yang diadakan oleh FIksiana Community

NB : Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community

Silakan bergabung di grup FB Fiksiana Community




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline