Di kalangan masyarakat umum dan pelajar, bibliotek atau yang dikenal secara luas sebagai perpustakaan, merupakan tempat terpenting untuk menemukan referensi dan bahan bacaan atau literatur untuk penulisan ilmiah.
Namun dari sudut pandang penguasa daerah, biasanya perpustakaan cenderung menjadi tempat buangan para pejabat maupun pegawai yang akan memasuki masa pensiun. Sesungguhnya, perpustakaan memang merupakan tempat bagi kaum "GEEK" tapi bukan berarti pejabat buangan merupakan seorang "GEEK".
Perpustakaan merupakan sarana dan wahana rekreasi ilmu. Hal ini tertuang dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Sejatinya, istilah tempat buangan tidak tepat seperti anggapan di tingkat eselon baik III maupun IV dalam satu dekade sebelumnya.
Begitu pula pejabat eselon yang kemudian dimutasikan ke perpustakaan, tidak perlu menganggap dirinya 'dibuang' ke OPD yang ternyata pagu anggarannya tidak sebesar OPD-OPD primadona, seperti Pendidikan, Pekerjaan Umum dan Kesehatan.
Bila kemudian ada Pendidikan tentang Revolusi Mental, ada baiknya para pejabat yang sebelumnya merasa 'dibuang' ke perpustakaan mengubah pola pikir dengan bersyukur ditempatkan di institusi yang merupakan "Wahana WISATA" ilmu. Mereka wajib bersyukur ditempatkan di lokasi yang memiliki ratusan ribu Jendela DUNIA. Selebihnya bersyukur didekatkan dengan PUSAT PERADABAN MASYARAKAT.
Dalam Novel karya Buya Hamka, ia kerap mengistilahkan perpustakaan dengan kata bibliotek. Bibliotek dari tingkat Nasional hingga ke tingkat Desa, merupakan sebuah institusi PELAYANAN PUBLIK. Yang dilayani bermacam-macam: dari manusia yang belum bisa membaca sampai para lanjut usia.
Dari mereka yang waras dan juga manusia yang kurang waras karena rajin belajar. Juga manusia yang oleh Allah Subhanahuwata'ala, Tuhan Semesta Alam, diberikan kekurangan fisik atau yang kita kenal dengan kaum difabel. Kurang apa sebuah Perpustakaan?
Di perpustakaan, semua dilayani... tidak ada pertanyaan tentang orientasi seksualnya apa, rasnya apa, agama kamu apa, semua dilayani. Hanya saja, di Perpustakaan Provinsi Kalbar khususnya, dalam pandangan saya, gedungnya sudah tidak layak dan tak ramah disabilitas.
Tidak ada rambatan bagi kaum tuna netra dan tuna daksa. Tidak ada paving block khusus bagi kaum tuna netra. Tidak ada lagi ruang yang tersedia untuk melayankan koleksi Braille yang diperuntukkan bagi kaum Tuna Netra. Soal koleksi? Jangan salah! Perpustakaan Braille BPBI Abiyoso Cimahi selalu mengirimkan secara gratis koleksi pustaka braille ke Perpustakaan Kalbar.
Saya pribadi kali pertama menginjakkan kaki ke perpustakaan kalbar di tahun 1996. Di tahun itu, saya pindah ke Pontianak mengikuti orang tua saya yang bertugas di sini. Awalnya saya sedih, tidak ada Gramedia di sini, tidak ada Gunung Agung di sini dan juga tidak ada pasar buku loak seperti yang ada di Kwitang Jakarta. Kemudian saya bersyukur bisa menemukan Perpustakaan Wilayah yang letaknya tidak jauh dari sekolah saya.
Jadilah pulang sekolah saya mampir untuk sekadar baca komik atau mencari novel di sini. Ingin mendaftar jadi anggota, aduh... bapak petugasnya galak ajah! Jadi saya malas. Lalu saya hanya mampir membaca dan keesokan harinya berusaha untuk datang lagi.