Lihat ke Halaman Asli

Menengok Kepastian Hukum

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konstitusi, UUD 1945 menegaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum dalam arti materiel sekaligus formil dengan karakternya yang lebih dekat ke sistem hukum eropa kontinental dari pada ke sistem hukum anglo saxon. Dengan diadopsinya berbagai macam doktrin yang berasal dari ahli hukum dan kenegaraan yang beraliran filsafat liberal-positivistik dalam Batang Tubuh UUD 1945 dengan sendirinya menyatakan dirinya berparadigma positivistik terbatas yang memang sudah menjadi semacam trend dan keharusan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Walaupun demikian UUD 1945 mengakui eksistensi norma-norma dan lembaga-lembaga yang hidup dan perkembang di dalam masyarakat dengan menjadikannya sebagai salah satu komponen dalam pembentukan dan pembangunan hukum nasional. Karena memang hukum dan masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebagaimana adagium terkenal yang diucapkan sekitar 19 abad silam oleh filsuf terkenal dari Romawi. “Di mana ada masyarakat di situ ada hukum” (Ubi societas ibi ius) ungkap Cicero. Masyarakat dan hukum tidak dapat dipisahkan dan memiliki hubungan timbal balik satu sama lainnya yang masing-masing bergerak secara terstruktur mengikuti perkembangan dan kemajuan pola pikir manusia.

Pemikiran manusia dapat eksis dan bergerak dengan bertumpu pada refleksi dan pengalaman atas alam dan kehidupan. Refleksi dan pengalaman manusia modern telah menempatkan manusia menjadi subyek kehidupan, hal ini yang dalam sejarah pemikiran manusia telah melahirkan kubu teosentris-antropesentris, idealistik-empiristik yang hingga kini terus “berperang”, sekaligus sebagai tanda telah lahirnya era modernisme dan menggeser paradigma lama tentang hukum dan masyarakat ke arah paradigma positivisme.

Paradigma positivisme hukum lahir dan dipengaruhi oleh paradigma hukum yang idealisme dan dari pengalaman-pengalaman masa lampau sehingga positivisme hukum mempunyai anggapan bahwa manusia dalam dirinya terpendam sifat baik sekaligus buruk yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sewaktu-waktu dapat muncul secara bergantian yang awalnya baik seketika dapat berubah menjadi buruk begitupula sebaliknya. Maka dari itu untuk menjaga dan melindungi kepentingan-kepentingan individu-individu yang membentuk diri dalam suatu komunitas bernama masyarakat dan negara, positivisme hukum menghendaki bangunan hukum yang tersusun secara tertulis, sistematis, rasional, dan bebas dari perasaan sehingga mampu membentuk karakter hukum yang penuh kepastian.

Kepastian hukum mempunyai prinsip bahwa hukum dibentuk dan dibangun berdasarkan kejelasan, ketegasan, dan kekuatan, sehingga mampu mengarahkan individu dan kelompok hidup dalam koridor yang sudah digariskan oleh hukum.

Praktek hukum yang didasarkan atas kepastian hukum sebenarnya sudah ada sejak lama. Misalnya Code Hammurabi, Piagam Madinah dan Code Napoleon yang telah banyak memberikan inspirasi bagi perkembangan pemikiran dan praktik hukum dan kenegaraan diberbagai belahan dunia. Dan Benih-benih pemikiran tentang kepastian hukum sudah ada dalam pemikiran Plato dan Aristoteles, yang kemudian menginspirasi pemikir besar lainnya. John Locke misalnya, dalam kontrak sosialnya telah memrefleksikan arti penting kepastian hukum untuk melindungi hak asasi manusia dan pembatasan kekuasan oleh peraturan perundang-undangan, yang pemikirannya Locke ini menginspirasi Montesqieu dan Rousseau yang akhirnya dikembangkan oleh Immanuel Kant.

Pemikiran Locke dan Kant ini sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran tentang hukum dan negara yang pada akhirnya menuntun negara-negara maju mengeksploitasi negara-negara miskin dan berkembang. Dan merangsang sifat buruk manusia yang memiliki kuasa untuk menggunakan kepastian hukum hanya sebagai alat legitimasi untuk membenarkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan.

Dampak eksploitatif dan menindas dari pengertian hukum dan negara yang demikian memaksa para ahli hukum dan kenegaraan di dunia untuk menyusun ulang konsepsi negara hukum yang semula negara hanya sebagai “penjaga malam” (negara hukum formil) bergeser ke arah yang konstruktif yakni menjadi negara hukum materiel (welfare state), negara turut serta dalam mewujudkan kesejahteraan warga negaranya. Dalam rangka itulah kekuasaan eksekutif mempunyai fungsi legislatif (freies ermessen)

Pergeseran konsepsi tentang negara hukum tidak menghilangkan sifat hukum yang positivistik dengan watak khas-nya yang menjunjung tinggi kepastian hukum. Hal itu sudah menjadi semacam keharusan agar suatu negara bisa dikatakan sebagai negara hukum yang modern, walaupun dunia telah memasuki era posmodernitas, namun dominasi ciri hukum yang tertulis dengan kepastian hukumnya tetap berkibar-kibar...

...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline