Oleh : Philipus Vembrey Hariadi
Nafsu adalah keinginan untuk memiliki atau melakukan sesuatu yang diinginkan atau dipikirkan. Nafsu ada di dalam diri manusia. Nafsu juga dapat dikendalikan oleh akal dan budi yang juga menjadi pelengkap dalam diri manusia. Akal dan budi juga yang turut menjadi alat dalam membedakan antara manusia dengan binatang. Tetapi, ada apa ya....kok hari ini pengantar yang saya berikan menggunakan kata "nafsu"?
Akhir-akhir ini ada beberapa kejadian yang membuat saya tertarik untuk menuliskan mengenai nafsu. Terutama nafsu untuk sampai di rumah dan nafsu sampai di tempat kerja. Ternyata kedua nafsu ini membawa derajat kita turun. Lho, bagaimana bisa? Mari kita renungkan. Kalau salah, mohon maaf dan kalau benar, mari kita sama-sama belajar untuk memperbaiki diri.
Nafsu terhadap apa sih? Pagi, di kala kita berangkat kerja. Ada beberapa hal yang menjadi rutinitas kita. Mulai dari sarapan, minum kopi dan sebagainya. Lalu, menyiapkan kendaraan dan pergi ke tempat kerja. Jika dalam kondisi terburu-buru, maka yang terjadi adalah akselerasi kendaraan dipacu dengan kencang. Sedangkan jika dalam kondisi tidak terburu-buru, maka kendaraan dipacu dengan kecepatan sedang.
Namun, yang menjadi masalah ialah ada beberapa hal yang mencolok terjadi pada momen perjalanan menuju lokasi kerja. Di antaranya ialah kita menghilangkan hak para pejalan kaki dengan memberhentikan kendaraan tepat di atas garis stop. Jika sudah demikian, maka akan menjadi hal yang sulit bagi penyeberang untuk melintas. "Menyeberang salah dan kalau tidak menyeberang, maka waktu terlambat akan semakin panjang." Mungkin kita melihatnya sebagai orang lain tetapi kalau seandainya posisinya dan keadaannya di balik, maka apa yang akan kita perbuat? Sungguh fakta yang mengerikan.
Ada sebuah kejadian, di mana seorang ibu sampai tidak dapat menyeberang hingga pada akhirnya meminta bantuan seorang polisi. Bukankah dari kejadian tersebut kita dapat berkaca, bagaimana tingkah pola kita saat berada di jalan?
Tidak hanya sampai di sana. Banyak dari antara kita pun juga sering membuat jalur baru. Apa yang dimaksud dengan jalur baru? Ketika kita berada pada jalur seharusnya dan jalur tersebut macet, maka seringkali ditemui beberapa pengendar harus membuat jalur contra flow secara mendadak. Padahal, tindakan yang demikian sangat-sangat berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Kita memang ingin tiba di kantor atau di rumah dengan cepat, tetapi apa harus dengan cara yang demikian?
Di sisi lain pula, ada beberapa pengendara yang mengaku sudah memiliki sim tetapi masih seringkali menerobos lampu merah. Di sini pula ada kebiasaan dan makna baru yang saya peroleh. Dulu saat saya masih duduk di sekolah dasar, warna merah pada lampu lalu lintas bermakna berhenti. Lalu, lampu kuning bermakna hati-hati dan warna hijau bermakna jalan. Kalau sekarang, nampaknya perlu ditinjau ulang maknanya. Semuanya sudah berbalik.
Dari seluruh hal itu saya hanya ingin menyampaikan, pada 2013, jumlah korban kecelakaan sebesar 25.157 jiwa (tribunnews.com). Meski angka tersebut diklaim menurun dari angka sebelumnya, saya mengingatkan kepada kita semua untuk menemukan makna kita berkendara. Apakah kita berkendara hanya untuk bergaya (full speed)<---yang seperti ini sebaiknya di sirkuit? Atau kita ingin berkendara dengan tidak menggunakan nafsu dan lebih manusiawi? Atau mungkin, kita justru ingin menambah jumlah angka korban yang ada di atas dan membuat kita pergi lebih awal meninggalkan keluarga tercinta? Bukankah kita diciptakan untuk saling menghargai dan menghormati di mana saja dan kapan saja?
Saling menghargai Jaminan Sampai ke Tujuan dengan Selamat dan Senang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H