Pernah ada masa ketika prinsip moral dan martabat manusia tetap dijaga meski perang sedang berkecamuk. Waktu itu seorang tentara tidak berani mengacung-acungkan bedilnya di hadapan wanita dan anak-anak, dan pahlawan yang sakti mandraguna tidak semena-mena mengeluarkan tenaga dalamnya di tempat umum.
Waktu kecil saya diceritakan tentang sebuah baku tembak yang mendadak berhenti ketika seorang pastor melintas. Ada pula kisah tentang gencatan senjata khusus satu malam untuk menghargai kekhusyukan malam Natal. Itu sepertinya sudah menjadi bagian dari zaman purbakala.
Serangan teror yang dilancarkan Hamas pada Sabtu pagi lalu menandai akhir dari era perang yang bermartabat. Abaikan sejenak fakta bahwa serangan kejutan mereka dengan ribuan roket itu diinisiasi pada hari Sabat, hari beribadah warga setempat. Gambar-gambar dan video-video yang beredar menampilkan kebrutalan perangn.
Ribuan tentara Hamas bersenjata lengkap menyerbu rumah-rumah pemukiman, menyeret keluar warga sipil, menyiksa dan menjadikan mereka tawanan. Semua kengerian itu mereka siarkan langsung lewat gawai mereka.
Dalam laporan berita lain, tampak mayat-mayat berserakan di jalan-jalan kota dekat Gaza dan di dalam kendaraan. Bodi-bodi mobil yang bolong-bolong dihujani peluru merupakan saksi bisu betapa wanita dan anak-anak telah disergap dan dihabisi oleh sepasukan pengecut. Di layar kaca, mereka telah menjadi angka statistik pembunuhan yang terus meningkat.
Sebuah video secara khusus membuat saya tercekat. Seorang wanita dibawa keluar dari sebuah mobil SUV hitam dengan tangan diborgol di belakang. Darah segar meleleh pada kedua lengannya. Seorang tentara Hamas dengan bangga menjambak wanita berkaus tipis itu dan memasukkannya ke pintu tengah. Bak domba dibawa ke tempat pembantaian, wanita itu hanya bisa menurut. Tuhan mana yang membenarkan tindakan semacam itu?
Seorang kakek pernah bercerita kepada saya, pasca peristiwa G30S puluhan tahun silam ada truk yang beroperasi malam-malam di kampungnya. Beberapa oknum berpakaian gelap meloncat keluar dan mulai menjemput nama-nama di dalam daftar. Setelah orang-orang malang itu dinaikkan ke atas truk, mereka segera pergi dalam gelap. Mereka tidak pernah kembali.
Meski keji, kebiadaban para penjemput ajal dalam cerita kakek tersebut sedikit lebih manusiawi dibandingkan apa yang terjadi di jalur Gaza beberapa hari lalu. Para pembasmi komunis sengaja beroperasi pada malam hari, entah untuk menghindari perlawanan seisi kampung atau meminimalkan efek teror pada masyarakat.
Beda sekali dengan algojo-algojo Hamas yang dengan gegap gempita menyerbu rumah-rumah penduduk pada waktu hari sudah terang. Mereka seakan-akan tidak malu dengan matahari ketika melakukan aksi keroyokan mereka.
Sepertinya ajaran Machiaveli adalah strategi perang organisasi yang didirikan pada tahun 1987 itu, "The end justifies the means." Cara dan metode tidak lebih mulia daripada tujuan yang hendak diraih.
Sejarah mencatat bahwa berbagai operasi teror yang dilakukan Hamas biasanya melibatkan serangan bom bunuh diri atau serangan roket. Pada tahun 1997, Hamas melakukan serangan bom bunuh diri di sebuah pasar di Yerusalem dan menewaskan 16 orang.