Sejak dimulai beberapa minggu yang lalu, gelombang protes di Hongkong tak kunjung mereda.
Senin lalu (12/8), para pendemo memasuki Hong Kong International Airport dan melumpuhkannya. Ratusan penerbangan dibatalkan. (Baca beritanya di sini).
Sebelumnya, ratusan ribu pro-demokrasi turun ke jalan-jalan dan pusat-pusat perbelanjaan menyuarakan tuntutan mereka. Namun, pemerintah Hong Kong, yang dikepalai Carrie Lam, tidak bergeming.
Kini, melalui bandara, mereka hendak mengundang simpati dunia internasional.
Demo Berjilid-Jilid Mempertahankan Demokrasi
Ini bukan pertama kalinya demonstrasi massal menyapu Hong Kong.
Pada tahun 2003, tidak kurang dari 500 ribu orang turun ke jalan-jalan. Mereka memprotes sebuah rancangan undang-undang yang kontroversial.
Pada tahun 2014, bekas koloni Inggris itu kembali bergejolak dalam gelombang protes berminggu-minggu. Kala itu, Joshua Wong, pemimpin Gerakan Payung (Umbrella movement), menuntut hak rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri.
Pada demo kali ini, pemicunya tidak jauh berbeda.
Para pemrotes menentang sebuah rancangan undang-undang yang memungkinkan seorang tersangka kejahatan diekstradisi ke Cina daratan. Mereka merasa, jika undang-undang tersebut disahkan, masa depan demokrasi di Hong Kong akan terancam.
Kecemasan itu cukup beralasan mengingat kemunduran demokrasi Hong Kong pada tahun-tahun belakangan. Kelompok pro-demokrasi mengkhawatirkan maraknya kasus pemberangusan yang terjadi di bawah pemerintahan Nyonya Lam. Kalangan artis dan penulis tertekan oleh pengetatan sensor.