Mengenang Moralitas Titanic
Pada hari ini, tepat 107 tahun yang lalu, kapal RMS (Royal Mail Ship) Titanic mengangkat jangkar dan memulai pesiar perdananya. Dengan percaya diri, kapal terbesar pada zamannya itu meninggalkan Southampton, Inggris menuju New York. Hanya empat hari berselang, kapal yang diyakini unsinkable itu menabrak sebuah gunung es di lepas pantai Newfoundland dan tenggelam.
Sampai kini masih belum jelas apa penyebab sebenarnya dari bencana yang merenggut nyawa setidaknya 1.500 penumpang dan awak kapal tersebut.
Beberapa orang menyalahkan Kapten E. J. Smith yang menginstruksikan kapal berbobot 46.000 ton itu melaju dengan kecepatan tinggi (22 knot). Padahal, pada musim itu perairan Atlantik Utara penuh bongkahan es.
Yang lain meyakini operator radio bersalah karena mengabaikan peringatan maha-penting tentang kehadiran gunung es. Beberapa menyalahkan pabrikan kapal, sebab tiga juta paku yang melekatkan pelat-pelat lambung Titanic diketahui terkontaminasi terak (slag). Ini mempercepat pelemahan integritas lambung kapal yang terbentur.
Apapun spekulasinya, hasil investigasi terhadap bangkai Titanic menunjukkan bahwa raksasa logam sepanjang 265 meter itu dikalahkan oleh serangkaian kebocoran kecil, bukan satu lubang besar.
Apapun spekulasinya, hasil investigasi terhadap bangkai Titanic menunjukkan bahwa raksasa logam sepanjang 265 meter itu dikalahkan oleh serangkaian kebocoran kecil, bukan satu lubang besar.
Tragedi Titanic menyesapkan ajaran moral menyangkut keangkuhan dan ketelodoran manusia. Para insinyur, yang begitu angkuh meyakini kapal ciptaannya tidak akan tenggelam, dipermalukan oleh hukum Archimedes yang sederhana.
Kini, nama Titanic menjadi tugu peringatan bahwa teknologi yang begitu canggih pun harus tunduk kepada ketidakpastian.
Decacorn di Atas Awan Disrupsi