Setelah melewati usia tiga puluhan umumnya kita cukup bijak untuk dapat membandingkan kondisi antar zaman. Keahlian ini terkait dengan bekal pengalaman yang kita dapat setelah melewati tiga dekade yang berbeda. Kita bisa mengamati bahwa setiap era memiliki keunggulan dan kekurangannya, semarak dan kegelisahannya masing-masing.
Menurut definisi yang paling ringkas, zaman yang menawarkan lebih banyak kebaikan daripada keburukan dapat disebut sebagai "zaman keemasan" (golden-age).
Bila bertemu dengan sesama alumni perguruan tinggi di Yogyakarta, seringkali saya mendapat kesan bahwa tahun 90-an adalah era terbaik untuk menimba ilmu di sana. Ketika itu makanan serba murah, mahasiswa-mahasiswinya bersepeda, minim polusi dan kejahatan; sangat kondusif untuk studi.
Sementara itu, menyimak foto-foto dan cerita-cerita "angkatan babe gue", sepertinya dekade 80-an adalah masa-masa yang paling menyenangkan; celana cutbray di mana-mana, lagu-lagu Beatles, Black Brothers, Farid Hardja yang riang menyesaki radio, nonton di bioskop lokal sudah terasa mewah. Tidak ada ponsel dan gawai yang mengganggu keintiman. Satu-satunya akar pahit: rezim Soeharto.
Zaman Keemasan Menurut Woody Allen
Bisa mengulangi hidup di zaman keemasan semacam itu merupakan impian terpendam yang hanya bisa direpresi. Namun, menurut Woody Allen, impian itu bisa diwujudkan setidaknya dalam bentuk sinema. Baginya, Paris pada dekade 1920-an adalah zaman keemasan.
Di dalam "Midnight In Paris" yang disutradarainya, Gil Pender, seorang penulis naskah sedang berlibur dengan kekasihnya di kota Paris. Di suatu malam, Gil menemukan dirinya tersesat di salah satu pojok di kota itu. Anehnya, pada tengah malam, sebuah mobil kuno datang menjemput dan membawanya ke era 1920-an. Di sanalah sejumlah artis dan penulis termasyhur dari zaman itu telah menanti.
Pertama, ia bertemu dengan Scott dan Zelda Fitzgerald, suami istri penulis novel This Side of Paradise dalam sebuah pesta kaum sosialita. Di pesta itu pula ia menyaksikan Cole Porter bermain piano sambil menembangkan "Let's Do It (Let's Fall in Love)". Scott kemudian membawanya menemui Ernest Hemingway, penulis novel-novel perang yang maskulin. Hemingway pulalah yang merekomendasikan Gil untuk berkonsultasi dengan Gertrude Stein, sang editor kenamaan.
Malam-malam setelah itu diisi dengan perjumpaan-perjumpaan lain yang fenomenal. Suatu kali Gil dijemput oleh T. S. Eliot, pujangga besar Amerika. Di lain waktu, ia berbincang-bincang dengan para dedengkot surealis: Salvador Dali, sang pelukis yang eksentrik, dan Luis Bunuel, sineas yang selalu bermimik serius. Ia sempat pula bertemu dengan Picasso, dan bahkan menjalin hubungan dengan kekasih gelapnya, Adriana.
Paris pada era 20-an merupakan pusat dunia. Legenda-legenda berbakat dari seluruh dunia berkerumun di kota itu untuk menghasilkan karya-karya novel humanis dan lukisan-lukisan avant-garde yang spektakuler. Mereka menawarkan kepada dunia obat penghiburan dan kelepasan dari penderitaan akibat Perang Dunia I.
Nostalgia Zaman Keemasan Era 90-an