Selama sepekan ini dunia pendidikan kembali diramaikan oleh aksi brutal (tawuran) yang dilakukan oleh sekelompok pelajar. Tak tanggung-tanggung, aksi yang mereka lakukan itu memakan korban jiwa. Alawy Yusianto Putra,remaja (15 thn) menjadi korban dalam aksi tawuran tersebut. Siswa SMA 6 ini meninggal akibat sabetan senjata tajam dibagian dadanya. Dua orang teman Alawy masih beruntung, mereka hanya luka-luka akibat sabetan sajam.Hanya selang satu hari,dibilangan Manggarai terjadi tawuran antar pelajar, yakni antar SMK Yake dan SMK Satya Bhakti. Lagi-lagi memakan korban jiwa. Satu nyawa melayang sia-sia.Banyak pihak yang harus turun tangan menangani kasus ini (misalnya: guru, komite sekolah, pemerintah, aparat hukum, dll). Bukan saling menyalahkan dan mencari kebenaran diatas carut marut perilaku pelajar ini. Dimana letak kontrol pihak sekolah terhadap anak didiknya?kok ya sampai bisa pelajar yang harusnya membawa peralatan belajar justru membawa senjata tajam?(wowww...magic)
Pernah suatu kali saya mendengar celotehan bocah-bocah yang masih lengkap mengenakan seragam sekolah. Mereka memang selalu berkelompok sepulang dari sekolah, dan itu menjadi perhatian khusus bagi saya. Salah satu dari mereka bilang begini: 'wah puas gue! klo gue mau mah,gue habisin. Bener lho,gue ga main2'. Setelah mendengar, saya berpikir:'emang lo habis ngapain?terus siapa yang mau lo habisin?'. Saya menangkap sesuatu yang tidak beres atas pembiacaraan mereka. Mungkinkah para pelajar itu puas setelah melakukan tawuran hingga sang lawan babak belur atau bahkan menghilangkan nyawa lawannya? Sebejad itukah pemikiran mereka yang masih muda dan berstatus pelajar itu? Apakah iya,aksi tawuran itu sendiri sebagai aktualisasi diri mereka dimata teman-temannya?atau sebagai bentuk perwujudan keberanian mereka di depan lawan hanya untuk bisa masuk dan bergabung dengan kelompok tertentu? Mungkin saja aksi tawuran itu ajang untuk menatar mereka?
Tawuran sendiri bukanlah hal baru, kejadian seperti ini sudah sering terjadi dari zaman dulu. Namun mungkin, baru sekarang ini menjadi sorotan median yang seolah-olah baru menjadi masalah besar dan menjadi perbincangan dimana-mana. Sepertinya, masyarakat, pemerintah, sekolah dan aparat hukum baru sadar dan segera ingin menata kembali perilaku para pelajar yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa yang bermoral dan berwatak baik.
Pertanyaannya, mengapa tidak dari dulu dituntaskan? Ketika banyak pelajar menjadi korban di berbagai kota di Indonesia. Apakah kita semua mulai alergi dengan tindakan "biadap" seperti ini? Mungkin saja begitu. Akan tetapi, perkelahian remaja sudah tertangani dengan upaya maksimal sejak dahulu. Namun sering saja terjadi "kecolongan". Nah bagian ini yang harus kita lihat dan nilai lebih jauh, mengapa sampai terjadi "kecolongan" hingga tindakan pencegahan tidak mampu mengatasinya.
Misalnya dengan membangun posko pemantauan diantara dua sekolah yang sering terlibat tawuran itu. Hingga rencana pemasangan camera CCTV.
Lebih jauh dari masalah tawuran ini, perilaku kelompok masyarakat di belahan bumi Indonesia ini, kerap melakukan hal yang sama. Rasanya budaya tawuran kelompok ini, bukan menjadi kebiasaan pelajar saja, tapi sudah dianggap biasa oleh berbagai
kelompok di masyarakat. Ada yang merasa kuat dan dekat dengan alat kekuasaan, dengan tanpa malu-malu menindas kelompok lain yang "lemah". Kalau kebiasaan seperti ini boleh dikatakan sebagai pemicu atau contoh kurang baik kepada pelajar, mungkin ada benarnya. Tetapi, sekali lagi sebenarnya dapat di cegah, namun lagi-lagi terjadi kecolongan.
Lalu siapa yang bertanggung jawab atas "kecolongan" seperti ini? Yang pasti adalah aparat penegak hukum itu sendiri. Kurang apa sih, alat negara yang mengurusi masalah intelijen? Pasukan ada, kemampuan ada, peralatanpun semakin canggih saat ini untuk melakukan koordinasi antar lembaga. Mengapa tidak dapat di "endus" sebelumnya, atau paling tidak dapat bertindak cepat saat kejadian berlangsung. Apakah hanya masalah terorisme yang menjadi prioritas utama tugas intelijen, sehingga untuk mengendus gejala gangguan keamanan di masyarakat tidak mampu? Tidak mampu atau tidak mau, atau dalam pengertian terlalu dianggap remeh? Jangan-jangan koordinasi kerja tugas intelijen yang ada di beberapa lembaga pemerintah tidak memaksimalkan koordinasi yang baik. Sehingga mengganggap tugas tawuran seperti ini hanya menjadi tanggung jawab satu lembaga saja. Jika demikian, maka kerja sistem sebagai "early warning" di negara ada yang lumpuh dan tidak berjalan normal.
Jadi, jangan hanya menilai permasalahan tawuran ini hanya pada tabiat remaja itu sendiri. Sebagai orang dewasa apalagi kelompok-kelompok besar dan merasa kuat dan berkuasa di masyarakat juga ikut mengambil bagian didalam memberikan contoh yang kurang baik. Seolah-olah masing-masing kelompok harus bisa menujukan superior atau kehebatannya. Karena kalau mau dilihat, yang "diperjuangkan dengan tidak benar" oleh para remaja ini bukan nama pribadi tetapi atas nama kelompok agar di cap "jagoan" dan ditakuti.
Sehingga jika ingin mengevaluasi fenomena, tawuran ini, semua orang harus introspeksi diri. Jangan sampai membebankan kejadian ini sepenuhnya kepada sekolah saja.
Ini adalah negara Hukum! Jangan menjadikan HAM sebagai momok dalam bertindak tegas. Jika seseorang atau kelompok terindikasi melanggar dan menginjak-injak perlindungan HAM orang lain, maka tindaklah mereka dengan tegas sesuai hukum yang berlaku.
Untuk kasus kali ini, berikan hukuman yang setimpal agak memberikan efek jera kepada para pelaku, disamping terus melakukan pembinaan bagi para remaja dimana saja. Dan terlebih penting, lakukanlah pembenahan di segala bidang. Sistem yang tidak berjalan dengan baik, segeralah di tata kembali, agar kejadian seperti ini dapat dicegah. Jangan sampai semua telah terjadi barulah saling menyalahkan satu dengan yang lain.
Peace broooo :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H