Sejarah? Apa itu sejarah? Sejarah adalah serangkaian episode demi episode kehidupan yang melahirkan suatu cerita atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sejarah dimaknai sebagai peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi dimasa lampau. Sejarah menjadi sebab awal keberadaaan sesuatu. Tidak ada satupun hal yang bisa berdiri sendiri tanpa sejarah. Pak Jokowi memiliki sebelum menjadi presiden, ia memiliki sejarahnya, Soekarno memiliki sejarah dalam memimpin Indonesia, kursi memiliki sejarah sebelum akhirnya ia tercipta sebagai kursi, hingga Indonesia pun memiliki sejarah kemerdekaannya sendiri. Tidak hanya sebuah Negara, presiden, dan benda mati saja yang memiliki sejarah, namun ilmu pengetahuan pun turut memilikinya. Seperti sejarah kemunculan ilmu filsafat, ilmu sains, ilmu sosial, dan ilmu agama.
Kita sebagai mahasiswa psikologi di awal perkuliahan tentu akan dijejali mengenai bagaimana sejarah kemunculan psikologi. Diawali dengan adanya laboratorium yang dibangun oleh bapak psikologi Wilhelm Wund di Leipzig dan terus akan mengalami perkembangan keilmuannya. Salah satu bukti adanya perkembangan keilmuan psikologi adalah dengan adanya cabang-cabang psikologi seperti psikologi pendidikan, psi klinis, psi industri dan organisasi, psi sosial, psi kepribadian, dan psi perkembangan. Dalam psikologi klinis kita akan mempelajari psikologi abnormal yang mana ia merupakan kelanjutan dari psikologi klinis dan membahas tentang klasifikasi orang-orang normal, abnormal dan patologis beserta penanganannya. Berbicara soal psikologi abnormal, sebelum kita mengenalnya lebih jauh, alangkah baiknya jika kita harus tahu dahulu sejarah kemunculan psikologi abnormal. Seperti pepatah yang mengatakan bahwa “Tak kenal maka tak sayang”, maka dari itu mari kita awali perkenalan dengan psikologi abnormal melalui sejarahnya.
Psikologi abnormal lahir disebabkan adanya penghakiman pada diri-diri yang dianggap sebagai orang yang abnormal. Lalu, bagaimanakah sejarah kemunculan pe”label”an abnormal? Dahulu pada masa pra sejarah, orang-orang yang memiliki gangguan psikologis dianggap sebagai orang yang kemasukan roh-roh jahat. Mereka berasumsi bahwa roh-roh jahat yang terperangkap dalam kepala manusia menyebabkan perilaku abnormal dan melepaskan roh-roh jahat tersebut akan menyebabkan orang tersebut kembali normal. Usaha mereka untuk melepaskan roh-roh jahat tersebut dengan melakukan pembedahan pada kepala orang yang dianggap abnormal. Hal ini dibuktikan denan adanya bukti arkeolog yang menyatakan bahwa dahulu ditemukan tukang-tulang tengkorak yang memiliki lubang di dalamnya. Pembedahan ini disebut dengan trephining. Tidak hanya itu, terdapat praktek lain yang dilakukan sebagai bentuk “treatment” terhadap orang abnormal yakni dengan dicambuk, dipukul, dibiarkan kelaparan dan cara-cara yang ekstrem lainnya dengan tujuan untuk mengusir roh jahat. Begitulah gambaran penanganan terhadap orang-orang yang memiliki gangguan psikologis pada abad tersebut.
Beralih pada masa Yunani Kuno dengan mulai munculnya model ilmiah. Hipocrates (460-377 SM) (dalam Halgin, 2010) meyakini bahwa ada empat bagian penting tubuh yang mempengaruhi fisik dan kesehatan mental, yakni cairan hitam empedu, cairan kuning, cairan lendir, dan darah. Jika jumlah cairan-cairan dalam tubuh tidak seimbang maka akan menyebabkan terjadinya gangguan psikologis. Treatmen untuk menangani gangguan psikologis dengan membersihkan tubuh dari kelebihan atau kekurangan cairan melalui metode-metode seperti mengeluarkan darah, menguras cairan tubuh, serta memberikan obat-obat pembuat muntah, serta menciptakan keseimbangan melalui nutrisi yang tepat. Pandangan Hiprocates ini mendominasi konsep bidang kedokteran mengenai topik gangguan psikologis selama 500 tahun.
Satu abad sebelum masehi, Aesclepiades melawan pandanngan Hipocrates yang menyatakan bahwa ketidakseimbangan substansi tubuh menyebabkan gangguan psikologis. Sebaliknya, iamenyatakan bahwa gangguan emosional yang menyebabkan gangguan psikologis. Dua abad kemudian muncul Claudius Galen yang mengembangkan sebuah sistem kedokteran yang merevolusi pemikiran sebelumnya mengenai gangguan psikologis dan fisik. Galen meneliti anatomi untuk menemukan jawaban tentang cara kerja badan dan pikiran. Sayangnya, meskipun ia membawa kemajuan akan pengobatan terhadap orang-orang yang patologis, ia tetap mempertahankan pandangan Hipocrates. Pandangan Hipocrates dan Galen membentuk dasar bagi model ilmiah mengenai perilaku abnormal.
Pada zaman pertengahan, ditandai dengan adanya kebenaran yang disandarkan pada otoritas gereja membuat psikologi berada pada “era kegelapan”. Maksudnya, tidak adanya perkembangan metode ilmiah yang mengenai bagaimana penanganan terhadap gangguan psikologis. Pada masa ini terdapat kepercayaan terhadap pembedahan primitif yang mendapatkan pengaruh spiritual. Masayarakat kembali pada takhayul, astrologi, dan alkimia untuk menjelaskan fenomena alami, termasuk penyakit fisik dan psikologis. Ritual-ritual gaib, pengusiran setan, dan pengobatan tradisional dipraktikkan secara luas. Orang-orang yang mendatangi tukang sihir dan dukun sebagai upaya penyembuhan gangguan psikologisnya dianggap abnormal. Hukuman dan eksekusi kepada orang-orang yang dituduh sebagai tukang sihir semakin menyebar luas pada abad ini.
Dominasi pola pikir religius pada abad ini memberikan dampak positif dan negatif bagi pelayanan orang yang memiliki gangguan psikologis. Keyakinan bahwa adanya roh jahat yang membentuk perilaku maladaptif pada individu dan perlakuannya (seperti di atas) memiliki pengaruh yang membahayakan. Sedangkan kemurahan hati para kristiani untuk membantu memberikan pelayanan yang lebih manusiawi kepada orang yang memiliki gangguan psikologis merupakan menjadi efek positif. Awalnya, mereka membuatkan rumah-rumah atau tempat khusus bagi orangyang tidak mampu dan sebagian besarnya ditempati untuk orang-orang yang memiliki gangguan psikologis. Tempat tersebut disebut dengan Asylum. Asylum ini menjadi tempat bagi orang miskin, namun pada abad 14 tempat ini mulai menerima orang-orang yang dianggap “gila” pada masa tersebut. Karena pada abad ini gereja memiliki otoritas penuh, maka siapapun yang berani menentang kebenaran otoritas gereja disebut orang yang gila. Jika pada masa prasejarah orang yang disebut gila adalah orang yang kerasukan roh jahat, maka pada abad ini orang yang berani berbeda (salah satunya dengan) menentang otoritas gereja (pada saat itu gereja memiliki otoritas penuh) maka ia dianggap gila dan pantas untuk dijebloskan dalam asylum dengan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi. Tidak hanya itu, banyak di antara mereka (pengidap gangguan psikologis) yang mendapat perlakauan dengan didera, dicambuk, dipasung, diasingkan, dan dibakar di sebuah tiang. Lebih tidak manusiawi lagi, untuk mendapatkan dana yang akan digunakan untuk melayani para penghuni asylum, maka pihak pengurus asylum menjadikan asylum sebagai tempat wisata. Banyak orang berwisata ke asylum hanya untuk melihat keanehan-keanehan yang terjadi pada penghuninya.
Pada masa ini dianggap gagal karena hampir tidak ada kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan terkait penanganan orang-orang yang memiliki gangguan psikologis. Oleh karena itu pada masa pertengahan, psikologi berada pada periode kegelapan. Pada abad ke 15 seorang dokter bernama Johan Weyer mencoba menghilangkan prasangka terhadap mitos bahwa orang dengan gangguan psikologis adalah orang yang dirasuki oleh setan. Namun, pandangan Weyer mendapatkan kritikan tajam karena menantang pandangan yang dikemukakan oleh pimpiinan religious dan politisi yangmemiliki kekuasaan dan pengaruh pada masa itu.
Beralih pada abad ke 17, di Eropa seorang dokter, Vincenzo Chiarugi menetapkan seperangkat standar-standar untuk menangani pasien pengidap penyakit mental dengan melakukan pencatatan riwayat hidup pasien, standar kebersihan yang tinggi, fasilitas rekreasi, terapi okupasi, mengurangi pengekangan dan memberikan penghormatan akan haga diri pasien. Pada intinya, perlakuan yang diberikan pada pasien lebih humanis. Bersamaan dengan di Eropa, di Amerika Serikat juga mengalami reformasi terkait penanganan pada pengidap kesehatan mental. Benjamin Rush –bapak psikiatri- mengembangkan model treatmen dengan “kursi penenang” yang dilakukan dengan mengikat pasien pada kursi tersebut. Tujuannya adalah untuk mengurangi peredaran darah ke otak dengan mengikat kepala dan anggota badan pasien. Tidak jarang Rush merekomendasikan pasiennya untuk berendam di air dingin.cara-cara tersebut kelihatannya tidak manusiawi jika dipandang melalui perspektif masa kini, namun hal itu dianggap baik dan digemari masyarakat pada zaman tersebut.
Nah, itulah sekilas dari sejarah adanya psikologi abnormal. Terkesan begitu gelapnya pemikiran masyarakat pada zaman dahulu yang begitu mudah menghakimi orang lain yang mengalami gangguan psikologis (abnormal) dan diperlakukan dengan tidak manusiawi. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan pengetahuan maka dicarikan solusi yang tepat dan lebih humanis untuk memberikan treatmen terhadap orang-orang yang mengalami gangguan psikologis dengan melalui adanya cabang ilmu psikologi, yakni psikologi abnormal. Hal yang perlu kita jadikan hikmah pada sejarah tersebut adalah jangan mudah menghakimi seseorang itu “abnormal” dengan hanya memandang dari satu sisi saja, seperti halnya pada zaman pertengahan yang pada saat itu gereja memiliki otoritas penuh. Siapa saja yang berani menentang otoritas gereja maka akan dihukumi “gila” dan dimasukkan pada asylum serta diperlakukan secara tidak manusiawi. Atau mungkin seperti pada masa prasejarah yang berasumsi bahwa perilaku menyimpang adalah akibat adanya roh jahat yang mengendalikan tubuh manusia. Dengan begitu siapa saja pantas dihukum dan diganjar dengan melakukan terapi “treapening” sebagai bentuk teknik penyembuhannya. Sejarah psikologi abnormal tidak berhenti pada abad ke 17, masih ada lagi sejarah hingga akhirnya treatmen yang manusiawi ditemukan (psikologi abnormal dilahirkan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H