Lihat ke Halaman Asli

Justru Ketika Saya Membaca Komik, Saya Lulus Ujian Sebuah Mata Kuliah

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1303659267176224978

Saat sedang asyik online di sebuah situs jejaring sosial, mata saya tertuju pada sebuah status yang nyebut kartun Naruto. Bicara soal Naruto, anda mungkin tahu tokoh kartun buatan Jepang ini. Cerita fiksi tentang seorang anak yatim piatu yang hidup di dunia ninja yang semasa kecilnya dicemooh oleh masyarakat karena di dalam tubuhnya terdapat jiwa monster yang menakutkan. Namun sang anak tidak mau putus asa dengan keadaan dirinya dan terus melakukan upaya-upaya agar keberadaannya dapat diakui oleh masyarakat setempat sekaligus ingin membuktikan bahwa dia mampu menjadi Hokage (pemimpin ninja di desanya).

Sejujurnya, salah satu hobi saya sejak kecil hingga sekarang adalah membaca komik (tapi komik tertentu saja). Kedengarannya memang kayak masih kekanak-kanakan. Tapi itulah manusia, tidak ada yang sempurna. Kartun Naruto saya kenal waktu masih awal-awal kuliah di salah satu PTN di Makassar dulu. Saat itu kartun ini diputar perdana pada sebuah stasiun TV swasta. Karena saat itu jadwal pemutaran kartun ini adalah pagi, sejam sebelum berangkat kuliah, saya sering menyempatkan diri untuk menonton kartun ini di tempat kost (status saya mahasiswa rantau saat itu). Naruto juga termasuk bacaan favorit karena spirit dan patriotisme dalam komik ini sering menginspirasi beberapa pemikiran saya saat berjuang melewati masalah-masalah baik saat kuliah maupun di luar kampus (disamping beberapa penginspirator lain yang lebih nyata yang saya kagumi).

Saya pernah melakukan tindakan yang bisa dibilang terinspirasi dari kartun ini. Buruk atau baiknya tindakan ini, silahkan pembaca sendiri yang menilainya.

Ceritanya begini. Saya baru pulang dari sebuah proyek penelitian dosen selama beberapa hari dan baru tiba di tempat kost pada malam hari. Saya kaget saat mendapat SMS oleh teman sekampus bahwa ujian tengah semester (mid) sebuah mata kuliah akan dilakukan besok hari. Saya punya copian materi, tapi belum menghapal satupun materinya (alias lupa hahahah :D). Saya juga sadar bahwa dosen mata kuliah yang akan menguji besok termasuk salah satu dosen yang pengamatannya cermat. Karena lelah dan ngantuk karena segenap tenaga terkuras selama beberapa hari sejak ikut proyek, saya ingin rebah sebentar di kasur tercinta tanpa sempat membersihkan debu dan bulu-bulu kucing yang bertebaran (saya juga pecinta kucing hahaha :D). Disaat kelelahan melanda dan kebuntuan isi pikiran saya mengenai ujian besok, mata saya menatap sebuah komik Naruto milik teman kamar sebelah, yang bercampur dengan serakan kertas-kertas HVS bekas.

Bukannya belajar, saya malah membaca komik tersebut dengan tujuan ingin menghilangkan kejenuhan sejenak. Saya mulai asyik menyimak sebuah adegan di dalam komik dimana si tokoh utama, Naruto, harus menghadapi ujian teori (tulis) untuk kenaikan jenjang ninja (Ujian Chunnin). Tapi bukan Naruto-nya yang menarik hati saya, tetapi pemimpin penguji dan teman-teman di sekitarnya yang juga mengikuti ujian tersebut. Sebagai gambaran, ujian yang digambarkan dalam adegan ini adalah sulit. Ibaratnya begini : anggaplah pembaca sedang duduk di bangku SD namun harus mengerjakan soal-soal tingkat SMP. Jadi bisa dikatakan bahwa para peserta ujian ninja ini sangat mustahil untuk melewati ujian ini. Belum lagi aturan-aturan ketat yang sangat menekan mental para peserta, dimana jika salah satu peserta ada yang tidak lulus saat melewati ujian, maka teman seperguruannya yang satu team dengannya yang sebenarnya bisa lulus, menjadi tidak lulus alias digugurkan.

Saat membaca pernyataan sang pemimpin penguji yang berkata kepada para peserta ujian, “Jangan menyontek yang memalukan !!”, saya terkesima saat baru sadar bahwa apa yang sebenarnya diinginkan sang penguji ternyata adalah “MENCONTEKLAH SECARA TERHORMAT” yang artinya, “Menconteklah tanpa bisa ketahuan anggota-anggota pengawas ujian yang lain, dengan menggunakan kemampuan ninja anda, karena anda diharapkan kelak dapat menjadi pencari informasi yang handal tanpa bisa ketahuan oleh pihak musuh”. Walau sebenarnya sulit diterima akal sehat saya saat melihat aksi-aksi para peserta ujian saat mengeluarkan kemampuannya tapi saya sangat terhibur menyimak disaat saya sedang kelelahan.

Mungkin karena terinspirasi adegan ini dan pertimbangan-pertimbangan lain seperti kelelahan untuk menghapal materi, juga bahwa akan sulit bagi saya untuk mencontek pada ujian esok hari karena faktor pengawas, apalagi saya jarang mendapat tempat duduk yang strategis buat nyontek (semua tukang nyontek pasti punya prinsip yang sama : Posisi Tempat Duduk Menentukan Nilai, lol) akhirnya terlintas di benak saya sebuah cara untuk melewati ujian besok dengan melakukan “hal yang serupa” (tapi tentu saja bukan dengan menggunakan jurus ninja hahahah :D)

Saya mulai mem

13036590891599013152

baca sambil merekam materi ujian saya ke dalam Flash Disk Mp3 (dulu saya belum punya Handphone canggih yang bisa merekam atau alat canggih lain yang bisa terhubung secara online dengan internet). Nada membaca diusahakan tidak cepat-cepat dan jelas vokalnya, dan dibuat jeda beberapa detik agar saya tidak kelimpungan saat menulis sambil mendengar jawaban ujian lewat FD. Esok harinya, “misi” disetting beberapa menit sebelum ujian dimulai. Bermodalkan rambut gondrong dan sweater (yang telah dimodifikasi pada kemarin malamnya), FD Mp3-nya saya letakkan di saku. Kabel headset dipasang di dalam baju. Satu ujung kabel-nya dilewatkan melalui lubang baju yang sudah dimodif menuju FD yang ada di dalam saku sweater dan satu ujungnya lagi (hedsetnya) dipasang di salah satu telinga lalu ditutup dengan rambut gondrong. Volume suaranya disetting, tangan kiri mengontrol FD-nya, dan tangan kanan menulis. Sepintas terlihat saya sangat tenang saat mengikuti ujian, padahal di bagian tubuh yang lain (otak – telinga – tangan kiri – tangan kanan) saling bahu membahu sibuk beraksi hahahha :D. Walau saya duduk di bangku paling depan dan berhadapan langsung sama dosen penguji, ternyata semua aman dan terkendali karena justru teman-teman yang duduk di bangku belakang menjadi sasaran perhatian si dosen penguji hahaha :D. Belakangan nilai saya keluar dan memuaskan menurut standar dosen mata kuliah yang bersangkutan.

Sayang sekali, kelemahan metode ini ada pada soal yang pertanyaannya : GAMBARKAN reaksi bla-bla-bla, bagaimana gambar tabel rumus bla-bla-bla, dsb. Kalau sudah berhadapan dengan pertanyaan kayak begini dan tidak tahu jawabannya, terpaksa menggambar bebas hahahah :D (tapi syukurlah gak ada permintaan disuruh menggambar dalam ujian saat itu)

Terlepas dari berhasil-tidaknya cara yang diambil saya untuk menghadapi ujian diatas, pembaca boleh men-judge tindakan saya sebagai tindakan keliru seorang pelajar dalam menempuh pendidikan. Saya terima itu sebagai kekhilafan saya sebagai manusia yang tidak bisa lepas dari kesalahan. Setidaknya, saya tidak sering menerapkan cara ini jika kondisi saya dalam keadaan “normal” (tidak sedang kelelahan/ terpaut dengan pekerjaan yang lain). Sebagai mahasiswa rantau yang jauh dari kampung halaman/ orang tua dan tak lepas dari kebutuhan-kebutuhan mendesak yang setiap saat datang tanpa diduga, belum lagi kiriman duit yang sering terlambat, maka keputusan subjektif yang cepat dan tepat harus dibuat sendiri agar pendidikan tetap bisa jalan dan kebutuhan juga bisa terpenuhi, yang mana itu juga berarti ada hal lain yang kadang harus kita relakan untuk “ditumbalkan” yang tentu juga sudah dipikirkan dengan pertimbangan yang matang. Pemikiran saya ini mungkin juga banyak terjadi di kalangan para pembaca yang statusnya juga sebagai mahasiswa “Kuliaran” (Kuliah Sambil Berkeliaran ; Kerja Untuk Cari Uang Tambahan)

Kembali ke cara “alternatif” saya saat melewati ujian tadi. Walau secara pribadi efektif buat saya, bukan berarti harus ditiru adanya. Bisa dibilang, sekarang ini banyak cara yang lebih “canggih” daripada cara ala-saya. Namun biar bagaimanapun, cara sederhana tetapi yang terbaik adalah lewati “jalur” yang sebenarnya yaitu dengan belajar karena ilmu itu untuk kebaikan diri kita sendiri.

Semua manusia di dunia pasti memiliki masalah. Kadang kala masalah itu begitu besar sehingga jalan tengah nan praktis pun diambil. Saya kira tidak ada yang salah ketika harus mengorbankan sesuatu hal saat harus mengambil keputusan yang mendesak, selama hal itu tidak mengganggu dan merugikan kepentingan orang lain. Silahkan merugikan diri sendiri, asal jangan ikut melibatkan apalagi sampai merugikan orang lain.

Kebenaran itu relatif, kebenaran itu berbeda dari tiap sudut pandang masing-masing orang. Apa yang saya pahami belum tentu sepaham buat anda dan itu saya hormati adanya. Bagi seorang pelajar, ketika anda bertanya “berapa 3 x 4 ?”pasti mereka akan menjawab 12. Tapi jika anda bertanya soal yang sama ke tukang cuci foto, pasti dia akan mengatakan “2000 atau 1500” (tergantung wilayah mana tukang cuci foto itu bekerja) dan tidak mungkin kita akan menyalahkan jawabannya.

Semoga tulisan ini sedikit banyak bisa berguna dan atau menambah wawasan para pembaca sekalian. Mohon maap sekiranya ada kesalahan baik dari segi penulisan kalimat maupun pengucapan karena saya hanyalah seorang penulis amatiran yang ingin belajar, berbagi pendapat dan pengalaman.

Salam n_n

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline