Lihat ke Halaman Asli

Phadli Harahap

TERVERIFIKASI

Aktif di Komunitas Literasi Sukabumi "Sabumi Volunteer"

Di sana Mushala Terbakar, Di Sini Mushala Sepi

Diperbarui: 19 Juli 2015   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita terbakarnya Mushala di Karubaga, Kabupaten Tolikara pada 1 Syawal lalu, membuat saya turut terhenyak. Sebuah pertanyaan pun membisiki di telinga, “apa yang sebenarnya terjadi?” Lalu, disebabkan rasa penasaran tersebut, saya pun membuka media massa online dan beberapa media sosial. Berita sebab akibatnya belum pun jelas, tapi sayang di sayang berbagai media sudah mengabarkan tetang dibakarnya rumah, toko, dan tentu saja “Mushala” sebagai titik pemberitaan untuk menarik pembaca. Selintas lalu, seolah-olah kejadian itu begitu diniatkan, tak mengurai sebab akibat, dan nara sumber informasinya pun tak begitu jelas. Dampaknya tentu saja, sebagian orang pemiilik akun media sosial pun mulai kasak kusuk, tiba-tiba begitu banyak orang yang dibangkitkan keIslamannya, mengerti betul tentang toleransi padahal berbalut kebencian, meramu sebuah tragedi dan membumbui desas-desus tanpa menelisik asal muasal sebuah kejadian.

Sebagai penganut Agama Islam (KTP) yang sedang menikmati hari yang Fitri, saya berpikir kejadian ini mungkin ada hikmahnya. Tuhan sepertinya ingin tahu seberapa besar cinta ummatnya kepada Mushala atau Mesjid yang sering kita bilang sebagai Rumah Allah. Bukan rahasia lagi kan, di akhir Ramadhan mesjid mulai sepi dan jamaah bisa dihitung dengan jari. Kita mulai sibuk ngomongin baju baru anak, kue lebaran masakan ibu, dan baju koko buat shalat Id. Soal mensejahterakan Rumah Allah itu ya nanti saja. Yang penting Lebaran dulu.

Lalu, jika ummat Islam begitu marah dengan terbakarnya sebuah mushala, lalu apakah mereka memperhatikan nasib mushala lainnya. Di banyak tempat Mushala ataupun mesjid begitu besar nan kokoh tetapi sepi. Seperti mushala yang ada di dekat rumah saya.

Kemudian, saya bertanya pada diri saya sendiri, “akankah setelah terbakarnya Mushala di Papua sana, mampu meringankan langkah saya untuk sering berkunjung ke mushala di dekat rumah saya itu; shalat berjamaah dan bermunajat di Rumah Allah?” Mushala yang posisinya hanya berjarak tiga rumah dengan kediaman saya.

Pernah suatu kali dari mushala, muazin memanggil-manggil orang sekitar dengan setengah bernyanyi, " hayu urang shalat berjamah..." Beberapa kali sang muazin ngadoman (memanggil jamaah dengan cara seperti bersenandung) setelah dia azan untuk shalat Ashar. Azan tak lagi cukup untuk memanggil orang untuk shalat berjamaah ke mushala. Saya yakin volume pengeras suara dari mushala itu pun sepertinya cukup kencang kedengaran dari ujung barat ke ujung timur gang lingkungan tempat tinggal saya.

10 menit kemudian, akhirnya shalat Ashar pun di mulai dengan berjamaah; 1 orang muazin, 1 orang penjaga mesjid, dan 1 orang lagi pedagang keliling. Sementara saya? Saya baru saja membeli baso urat dari pedagang keliling yang turut shalat berjamaah tersebut. Setelah itu, saya pulang ke rumah nonton sinetron ojek pengkolan. "Hai tukang ojekkk, tolong antariiin saya, ke jalan rawa bebek."

Ya, Saya tidak tidak ikut shalat jamaah seperti orang-orang yang lain. Begitulah fakta tentang kondisi mushala di dekat rumah saya dan mungkin juga situasinya sama seperti di sekitar tempat tinggal pembaca sekalian. Kita bolehlah kasak-kusuk membahas Mushala yang terbakar di Papua, tetapi jangan lupa ada mushala yang sepi di sekitar kita. Mushala yang hanya dikunjungi oleh seorang penjaga mesjid, seorang muazin ditambah pedagang keliling yang berniat untuk shalat. 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline