Kejadiannya begini waktu saya disuruh istri mengantar pesanan nugget kepada seorang pelanggan pada jumat 26 juni yang lalu, “pokoknya pembelinya nunggu di Alfa dekat perempatan.” Namanya juga janjian pastilah ada yang menunggu dan ada yang dinanti, saya terpaksa agak lama menunggu pelanggan usaha rumahan milik istri saya, katanya pelanggan tersebut sedang dalam perjalanan. Ketika menunggu pelanggan tersebut, telinga saya mendadak terpancing untuk menguping pembicaraan dua orang pengemis yang sedang berbagi uang dari hasil meminta-minta.
Dua orang pengemis tersebut memiliki ciri yang berbeda satu sama lain terlihat dari matanya. Salah satu orang dari pengemis itu buta dan perawakannya agak pendek. Sedangkan satu orang lainnya bisa melihat, postur badannya tingggi, dan tampak segar tiada cacat ditubuhnya. Dari ciri kemampuan penglihatan tersebut, sepertinya laki-laki yang perawakannya agak tinggi itu tugasnya menuntun laki-laki buta untuk mangharap belas kasih dari orang lain.
Saya “menguping” bukan karena diniatkan, tetapi sekedar terpancing. Lagian ini puasa, enggak baik menguping dengan sengaja, hehehe mencari alasan. Posisi saya menunggu sangat dekat dengan kedua orang pengemis tersebut. Namun, tidak berarti saya mendengar semua apa yang mereka bicarakan hanya sebagian saja. Oh ya pembicaraannya dalam bahasa Sunda, tetapi sudah saya terjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Pembicaraannya begini…
Pengemis A (laki-laki buta) : “Kamu sudah benar menghitung uangnya?” (Sambil memegang uang, dia tampaknya tak percaya dengan pembagian uang yang dilakukan rekan kerjanya).
Pengemis B (laki-laki tak buta): “Sudah-sudah betul, dua ratus ribu sekian” (jumlah tepatnya saya kurang mendengar, tetapi diatas dua ratus ribu. Hasil yang lumayan untuk setengah hari kerja, apalagi jam menunjukkan belum tepat jam satu).
Lalu, pengemis B membagi uang dalam dua bagian, satu bagian untuk Pengemis A (buta) dan satu bagian lain untuk pengemis B (tak buta). Tetapi alangkah kagetnya saya bagian untuk pengemis B lebih tebal dibandingkan pengemis A. Sedangkan jumlah lipatan uang yang diterima pengemis A tampaknya setengah lebih sedikit dari pengemis B. Saya menduga pengemis B tidak jujur mengatakan jumlah penghasilan mereka yang sebenarnya. Apalagi dari tatapan pengemis B yang hati-hati sekali memasukkan uang ke kantong celana jeans lusuhnya. Mungkin dia takut pengemis A yang buta mendengar gesekan uang yang masuk ke kantong celananya. Bisa jadi, pengemis A yang tak bisa melihat memiliki kemampuan lebih baik dalam hal pendengaran dan penciuman.
Betul saja, pengemis A yang tak bisa melihat jumlah uang yang diterimanya tak percaya begitu saja kepada sejawatnya itu. Dia tak langsung menyimpan uang bagiannya, tetapi menghitung kembali uang yang diterimanya dan memastikan nilai uangnya sesuai dengan apa dikatakan temannya itu. Kalau yang saya lihat, uang kertas yang dipegang si pengemis A beraneka ragam dari uang seribuan sampai dua puluhribuan. Nah saya tidak melihat uang koin dalam pembagian hasil tersebut. Pengemis A pun bertanya-tanya nilai uang yang dipegangnya kepada pengemis B.
Pengemis A : “Ini uang berapa, dua puluh ribu ya?” (menunjukkan uang Rp20.000 kepada pengemis B, lalu meraba sambil menciumi uang tersebut).
Pengemis B : “Itu uang Rp.20,000.” (Tebakan pengemis A benar adanya).
Pengemis A : “Kalau ini uang dua ribu ya? Kamu jangan bohong ya?” (lagi-lagi tebakannya benar, uang yang diraba dan diciumi oleh pengemis A. Hebat pikir saya, pengemis buta memiliki indara peraba dan pencium yang baik)
Pengemis B : “ Iya maneh (kamu) enggak percaya sama saya.” (pengemis B mencoba meyakinkan).
Pengemis A : “Bukan enggak percaya, tapi saya enggak bisa melihat uangnya makanya ditanya lagi”. (Pengemis A menyunggingkan senyumnya kepada pengemis B).
Singkat kata, semua uang yang disebutkan benar nilainya dan pengemis A sepertinya percaya dengan jumlah uang tersebut dibagikan secara adil. Tetapi tidak dengan saya yang bisa melihat sama baiknya dengan si pengemis B, saya sangat yakin pengemis A telah dibohongi rekan pengemisnya itu. Jumlah uang yang mereka dapat setengah hari itu pastilah tidak hanya lebih dari dua ratus ribu. Wong saya lihat jelas begitu, pengemis B memasukkan uang yang jauh lebih tebal ke kantong celananya, jauh lebih sedikit dari yang diterima pengemis A.
Begitulah hasil “nguping” saya dari “pengemis berbagi” uang dari meminta-minta tersebut. Jumlahnya cukup lumayan. Namun seperti apa yang saya ceritakan, tampaknya orang-orang yang memiliki kekurangan secara fisik seperti pengemis A yang buta dimanfaatkan Temannya atau siapapun itu untuk mengiba kepada orang lain. Apalagi di Bulan Ramadhan nan penuh rejeki ini, orang buta dapat dimanfaatkan sebagai “alat pencari uang” yang cukup taktis dan kiranya banyak orang yang kasihan kepadanya. Syukur-syukur kalau pembagian jatahnya secara adil. Masalahnya, kalau kejadiannya seperti tulisan saya ini. Ya mau apa dikata… Mungkin dengan cara itu mereka bisa mencari rejeki dibandingkan dengan orang lain yang nasibnya jauh lebih beruntung di luar sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H