Lihat ke Halaman Asli

Phadli Harahap

TERVERIFIKASI

Aktif di Komunitas Literasi Sukabumi "Sabumi Volunteer"

Bonus Demografi dan Peran Perempuan

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14129092082057089012

Indonesia sedang mengalami bonus demografi yang ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan usia non produktif(di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun). Puncak bonus demografi di Indonesia akan terjadi pada tahun 2020-2030. Menurut Adioetomo (2011), bonus demografi terjadi dari proses transisi demografi karena penurunan fertilitas (jumlah kelahiran) dan mortalitas (jumlah kematian) dalam jangka panjang, sehingga terjadi perubahan struktur umur penduduk. Seperti penjelasan berikut ini:

·Penurunan fertilitas membuat semakin berkurangnya proporsi anak-anak, yang merupakan keberhasilan dari program Keluarga Berencana (KB).

·Penurunan kematian bayi meningkatkan jumlah bayi yang terus hidup dan mencapai usia kerja, yang merupakan keberhasilan program kesehatan.

Jadi, rasio ketergantungan penduduk menurun karena semakin berkurangnya proporsi penduduk muda dan peningkatan proporsi penduduk usia kerja. Hasilnya, rasio ketergantungan turun menjadi 53% pada tahun 2010. Pada puncak bonus demografi tahun 2020-2030, rasio ketergantungan penduduk Indonesia diperkirakan mencapai titik terendah, yaitu 44 %. Artinya, setiap 100 orang penduduk usia penduduk produktif harus menanggung 44 orang penduduk usia tidak produktif.

Sumber : Adioetomo, tahun 2011

Berdasarkan proyeksi data kependudukan, penduduk usia kerja berjumlah 164 juta jiwa pada tahun 2015, meningkat 172 juta jiwapada tahun 2019, dan mencapai 192 juta jiwa pada tahun 2035. Jumlah penduduk usia produktif yang besar dapat dimanfaatkan sebagai keuntungan ekonomis oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Adioetomo (2014) mengingatkan bahwa bonus demografi dapat dinikmati jika anak laki-laki dan perempuan dapat menyelesaikan pendidikan 12 tahun bahkan hingga sarjana, dengan keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan di pasar kerja. Untuk mendukung teori tersebut, maka diperlukan empat syarat agar Indonesia bisa menikmati hasil dari bonus demografi, yaitu:

1.Mempunyai pekerjaan produktif dan bisa menabung.

2.Tabungan di investasikan untuk menciptakan lapangan kerja produktif.

3.Masuknya perempuan ke pasar kerja untuk menambah tabungan rumah tangga.

4.Meningkatkan kualitas modal manusia agar bisa memanfaatkan momentum jendela peluang yang akan datang.

Sementara itu, Suyono (2005) menyatakan bonus demografi akan menjadi lebih signifikan kalau penduduk perempuan usia produktif ikut memberikan kontribusi terhadap ekonomi keluarga, berperan dalam bidang kependidikan dengan memasuki jenjang pendidikan yang setinggi-tingginya. Harapannya, Penduduk usia produktif muncul dengan kualitas pengetahuan yang tinggi dan tingkat pengangguran rendah pada masa bonus demografi.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa kedua orang tersebut memberi perhatian agar perempuan dapat berperan dalam bonus demografi dengan menempuh pendidikan dan memiliki pekerjaan yang lebih baik. Untuk itu, menurut penulis sangat penting melihat bagaimana potensi yang dimiliki penduduk perempuan untuk mendukung bonus demografi.

Peran Perempuan

Kritik pemerhati perempuan terhadap program kependudukan yang dijalankan oleh pemerintah, menyatakan meskipun perempuan menjadi tonggak utama dalam program KB dan pendorong lahirnya bonus demografi, sebenarnya nasib perempuan kurang diperhatikan. Karena kenyataannya, program yang dijalankan oleh pemerintah melalui BKKBN lebih menargetkan perempuan hanya sebagai subjek dalam programnya seperti perempuan dijadikan “senjata pengendalian laju penduduk” dengan penggunaan alat kontrasepsi. Padahal ada hal yang harus diperhatikan diluar masalah reproduksi, seperti kualitas pendidikan keluarga dan akses terhadap pekerjaan.

Pentingnya Pendidikan Bagi Perempuan

Secara umum di Indonesia pada tahun 2010, persentase penduduk usia 25 tahun ke atas dengan pendidikan minimal SLTP mencapai 52,5 % bagi laki-laki dan 49,4 % untuk perempuan. Sementara itu, rata-rata lamanya sekolah penduduk usia 25 tahun ke atas pada laki-laki 8,2 tahun dan perempuan 7,3 tahun (Bappenas, 2012). Kesempatan rata-rata penduduk mengenyam pendidikan di Indonesia masih cukup rendah, kira-kira hanya sampai awal jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Lalu, apa dampak lamanya pendidikan yang ditempuh terhadap program kependudukan yang dijalankan oleh pemerintah? Hasil evaluasi Pelayanan Keluarga Berencana Bagi Masyarakat Miskin (Bappenas, 2010) menjelaskan bahwaperempuan dengan tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki anak yang lebih banyak dibandingkan perempuan yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan mempengaruhi besarnya TFR (Total Fertility Rate) atau rata-rata anak yang dilahirkan seorang wanita selama masa usia suburnya. Bappenas mencontohkan capaian TFR bervariasi dalam setiap provinsi di Indonesia. TFR tertinggi terdapat di Maluku sebesar 3,7 dan terendah di D.I. Yogyakarta sebesar 1,5. Hal tersebut berkaitan dengan wilayah Indonesia bagian timur sebagian besar merupakan wilayah kepulauan dengan akses pendidikan tidak memadai, ketersediaan sumber daya manusia, keterbatasan sarana dan prasarana penunjang lainnya.

Selain itu, perempuan yang berpendidikan lebih rendah cenderung memulai mengandung pada usia lebih muda. 19 % remaja yang tidak sekolah telah mulai mempunyai anak, dibandingkan dengan 4% remaja berpendidikan SMA atau lebih. Dari data tersebut dapat disimpulkan, pendidikan yang ditempuh perempuan berhubungan terhadap jumlah anak yang dilahirkan dan usia pertama kali mengandung.

Selanjutnya, tingkat pendidikan rendah perempuan berpengaruh terhadap daya saing perempuan di dunia kerja. Pekerja perempuan hanya mengisi sekitar 38,23 % dari total pekerja di Indonesia. Perempuan yang belum dapat menembus dunia kerja karena tidak mengenyam pendidikan formal(suaramerdeka.com, 2012). Dari kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa pendidikan yang ditempuh oleh perempuan berbanding lurus terhadap rendahnya akses terhadap pekerjaan.

Keterlibatan Perempuan Dalam Pekerjaan

Dari penjelasan paragrap sebelumnya telah diketahui bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kecilnya akses pekerjaan para perempuan. Bappenas (2012) menjelaskan kondisi sebagian besar perempuan dengan pendidikan yang rendah bekerja pada sektor informal dan sebagai pekerja bergaji lebih rendah. Kebijakan tentang upah minimum seringkali tidak berlaku sama antara perempuan dan laki-laki. Lalu, Berapa besar tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan?

Berdasarkan data Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sukernas) tahun 2011, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan sekitar 52,44 %, lebih rendahdibandingkan TPAK laki-laki sebesar 84,30 %. Selain itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) perempuan sebesar 7,62 % lebih tinggi dibandingkan dengan TPT laki-laki sebesar 5,90 %.

14129095252140960001

Sumber : Sukernas, tahun 2011

TPAK menunjukkan perempuan ketinggalan dibandingkan dengan laki-laki dengan jarak sekitar 32%. Menurut penulis, selisih jarak partispasi antara perempuan dan laki-laki harus dipangkas dan diperhatikan oleh pemerintah. Jika akses terhadap pekerjaan tidak diperhatikan, maka perempuan mungkin tidak bisa berperan banyak dalam bonus demografi. Bahkan bukan tidak mungkin, perempuan malah menjadi penyumbang beban sebagai penduduk yang tidak produktif.

Keterlibatan perempuan Indonesia di dunia kerja masih tertinggal dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, seperti Myanmar, Kamboja, dan Vietnam, jumlah tenaga kerja pria dan perempuan hanya memiliki selisih antara 3-6 % (sinarharapan.co., 2014). Lain halnya dengan Kamboja, Myanmar, dan Vietnam, ketiga negara tersebut menunjukkan perkembangan pendidikan terutama untuk pendidikan menengah. Peningkatan kualitas pendidikan menjadi pertanda baik bagi pertumbuhan produktif bagi negara-negara tersebut pada masa yang akan datang, karena memiliki modal yang baik untuk bersaing dengan negara lain, terutamadalam waktu dekat akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015.

Dengan tingkat pendidikan dan partisipasi angkatan kerja yang rendah, apa yang dapat dilakukan agar perempuan dapat melakukan peran yang aktif menghadapi bonus demografi?

Meningkatkan Peran Perempuan

Negara Indonesia dianugerahi angkatan penduduk usia kerja yang tinggi. Pemerintah mau tidak mau harus menjadikan anugerah tersebut sebagai kesempatan emas untuk mendorong perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya. Perempuan sebagai bagian daripenduduk yang juga berjasa melahirkan tenaga kerja potensial diharapkan untuk turut andil memanfaatkan bonus demografi. Namun masih terkendala karena kualitas pendidikan dan kesempatan kerja perempuan yang rendah pada saat ini. Padahal, syarat untuk bisa menikmati bonus demografi, diantaranya penduduk harus menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan memiliki pekerjaan yang produktif.

Menurut penulis, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendorong peran perempuan dalam menghadapi bonus demografi, antara lain:


  1. Mendorong perempuan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi dan meningkatkan keterampilan.

Dari data yang dijabarkan sebelumnya, perempuan memiliki rata-rata lamanya sekolah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu 7,3 tahun. Sebenarnya, angka rata-rata lamanya pendidikan laki-laki juga tidak tergolong tinggi, namun keterlibatan perempuan perlu lebih didorong dari berbagai faktor yang menghambat, seperti kendala kemampuan ekonomi, penilaian posisi sosial perempuan, dan pandangan terhadap peran perempuan secara budaya.Anggapan tentang perempuan yang tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi harus dihapuskan sejak sekarang. Hal tersebut untuk mengeluarkan perempuan dari “dapur” dan menikmati ruang yang sama dengan laki-laki untuk menikmati pendidikan hingga jenjang setinggi-tingginya.

Untuk itu, pemerintah dapat menggunakan petugas kesehatan dan penyuluh KB yang berhubungan langsung dengan masyarakat, sebagai perantara untuk kampanye mengenai pentingnya pendidikan bagi masyarakat.

Pemerintah juga harus memberikan perhatian langsung kepada perempuan, misalnya membuat program pendidikan wajib bagi perempuan untuk menyelesaikan pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), terutama bagi mereka yang hidup dalam keluarga miskin. Sehingga meningkatkan jumlah perempuan yang dapat menempuh pendidikan.

Bagi perempuan yang terlanjur putus sekolah, pemerintah dapat memanfaatkan lembaga informal untuk memberikan pengetahuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan.


2.  Meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia kerja

Setelah memiliki keahlian dan keterampilan, barulah perempuan dapat bersaing di dunia kerja.Perlu diingat kembali, salah satu syarat agar Indonesia bisa menikmati bonus demografi, adalah masuknya perempuan ke pasar kerja sehingga membantu perekonomian keluarga. Menurut penulis, keterlibatan dalam dunia kerja memberikan manfaat ganda, karena selain bisa menghidupi dirinya sendiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Perempuan dapat memperkokoh kemampuan ekonomi dalam sebuah keluarga. Keterampilan dan pengetahuan bisa menjadi nilai tawar bagi perempuan, agar tidak digaji lebih rendah dan kemampuannya tidak dipandang sebelah mata.

Selanjutnya diharapkan, keterampilan dan pengetahuan dapat menyokong untuk menaikkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) bagi perempuan. Meski begitu tanpa ketersediaan lapangan kerja, partisipasi angkatan kerja perempuan tetap rendah. Beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan antara lain pemerintah mendorong agar pelaku usaha untuk membangun pabrik/ lapangan kerja di berbagai daerah. Seperti yang dilakukan pemerintah kota Jakarta yang mendorong industri tidak dibangun ibukota. Sehingga perempuan di berbagai daerah dapat bekerja tanpa harus pergi jauh ke kota.

Pemerintah membangun pusat pelatihan kerja bagi perempuan dengan sebaran di berbagai daerah, sehingga perempuan langsung dapat bekerja sesuai dengan keahlian ketika ada lowongan kerja.

Jika menilik dari hasil laporan Bappenas yang menyatakan perempuan lebih banyak bekerja di sektor informal, mendorong perempuan menciptakan pekerjaan baru secara mandiri, seperti kewirausahawan. Sehingga perempuan menciptakan pekerjaan baru dan memberikan penghasilan sendiri.

Akses perempuan untuk mengeyam pendidikan dapat membuka peluang untuk memasuki dunia kerja. Perempuan yang bekerja dapat menambah penghasilan keluarga. Setelah itu, mereka juga bisa menabung untuk keperluan masa depan, seperti untuk membiayai berbagai kebutuhan keluarga dan pendidikan anak-anak nantinya. Jadi perempuan dapat meningkatkan kualitas modal manusianya melalui keluarga. Sehingga, ketika perempuan berhasil menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan berhasil bersaing di pasar kerja, maka perempuan dapat berperan dalam pemanfaatan bonus demografi.

Bahan Bacaan:

Adioetomo, Sri Moertiningsih. 2011. Bonus Demografi Menjelaskan Hubungan antara Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi.

Adioetomo, Sri Moertiningsih. Rekayasa Demografi Masa Depan. Harian Kompas. 29 September 2014.

Bappenas. 2010. Evaluasi Pelayanan Keluarga Bagi Masyarakat Miskin.

Bappenas. 2012. Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) & Indikator Kelembagaan Pengarusutamaan Gender (IKPUG).

http://www.bkkbn.go.id

Suyono, Haryono. 2005.

http://www.haryono.com/index.php?option=com_content&task=view&id=483&Itemid=1

http://sinarharapan.co/news/read/25436/jumlah-perempuan-di-dunia-kerja-rendah

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/10/03/200818/Ironi-Wanita-Pekerja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline