Menterinya Presiden Joko Widodo membuat heboh kembali. Kali ini Hanif Dhakiri, Menteri Tenaga kerja melompati pagar ketika melakukan inspeksi mendadak di sebuah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja di kawasan Tebet, Jakarta Selatan (5/11/2014). Setelah berhasil masuk, ia mengecek fasilitas tempat penampungan tenaga kerja para perempuan tersebut. Hasilnya? Kondisi penampungan tersebut dinilai tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Aksi melompat sang menteri langsung menjadi sorotan publik, sebagian orang memuji dan sebagian lagi menyatakan hanya pencitraan saja. Bagi saya, tindakan tersebut merupakan pencitraan jika hanya sebatas lombat-melompat saja tanpa melakukan langkah selanjutnya. Bukankah setinggi-tingginya tupai melompat akan jatuh juga. Apa yang dilakukan menteri tersebut tentu tidaklah cukup, masih begitu banyak kisah pilu dari para Tenaga Kerja Indonesia (TKI), khususnya pekerja perempuan yang luput dari perhatian pemerintah. Pekerja Perempuan banyak sekali yang menjadi korban trafficking, tak digaji, disiksa majikan hingga terjerat hukuman mati. Menteri Tenaga Kerja harus memperbaiki nasib TKI yang katanya menjadi pahlawan devisa. Menteri Tenaga Kerja bertanggung jawab untuk lebih memperhatikan segala hal yang berkaitan dengan nasib para TKI. Bagaimana mungkin disebut “Pahlawan Devisa”, sementara mereka tidak diperhatikan secara maksimal oleh pemerintah.
Bukan hanya Menteri Hanif, menteri lainnya juga bergerak cepat untuk menunjukkan kemampuan kerjanya. Sebelumnya Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan telah menjadi “selebriti” diantara para menteri lainnya. Para awak media tampaknya tak mau ketinggalan beritanya walau sehari pun. Dari berita negatif soal merokok, tato dan latar pendidikan rendah, Menteri Susi pelan-pelan menunjukkan kalau ia mampu bekerja dan menjawab kritikan yang ditujukan pada dirinya. Ia mulai menganalisa betapa besarnya kerugian di bidang perikanan akibat penangkapan illegal, bukan main sampai sekitar Rp 300 triliun setiap tahunnya. Selain itu, ia juga menyingkap tabir kalau niat besar untuk melindungi kelautan dan perikanan ternyata tidak diimbangi dengan dukungan alat pertahanan kemaritiman. Sebagian besar kapal yang seharusnya sebagai alat pertahanan ternyata tidak berfungsi. (Menteri Susi kaget: baca disini). Menteri Susi merasa terkejut dengan kenyataan tersebut. Persoalan lain dibalik kerugian dan lemahnya pertahanan kemaritiman adalah perlindungan terhadap kesejahteraan nelayan kecil. Menteri Susi yang telah menikmati “asinnya air laut” tentu sadar betul kalau nelayan kecil tak berkutik ketika berhadapan dengan penangkapan ikan secara illegal yang menggunakan kapal dan peralatan berskala besar. Untuk itu secara langsung dan tidak langsung ia menjadi tumpuan bagi para nelayan melalui kebijakan yang ia ambil.
Tidak hanya kedua orang itu, Ignasius Jonan Menteri Perhubungan tak mau kalah. Kalau pada jabatan sebelumnya, ia hanya bisa memperbaiki sarana perkeretapian saja, kali ini mulai menilik sarana penerbangan dengan melakukan inpeksi mendadak ke bandara Soekarno Hatta (5/11/2014). Hasilnya, ia melihat kalau beberapa sarana Bandara Soekarno-Hatta, salah satunya ruang kesehatan di Terminal 1 A yang dianggap tak layak, apalagi banyak tumpukan kardus di ruang tersebut. Lampu penerangan dan kebersihan bandara pun tak luput dari perhatiannya, katanya penerangan di kereta rel listrik (KRL) jauh lebih baik dari penerangan bandara. Ignasius Jonan yang dikenal mampu memperbaiki manajemen PT Kereta Api Indonesia, tampaknya dipilih Presiden untuk meningkatkan kualitas sarana perhubungan lainnya di Indonesia. Ia harus membagi cintanya dari PT. Kereta Api kepada sarana perhubungan lainnya (kecintaan Jonan pada kereta api: baca disini). Bukan rahasia lagi begitu banyak persoalan pada sarana transportasi darat, laut dan udara. Dari sarana transportasi yang tak layak, pelayanan yang buruk, hingga manajemen yang amburadul, menjadi pekerjaan besar bagi Ignatius Jonan sebagai Menteri Perhubungan.
Kerja Mereka Bukanlah Apa-Apa, Jika...
Apa yang dilakukan ketiga orang tersebut sebagai contoh kalau pekerjaan sebagai menteri tidak membuat mereka tenang dibalik meja, namun harus melihat langsung apa yang terjadi, menganalisa permasalahan, dan merencanakan kebijakan yang lebih baik kedepannya. Kinerja yang mereka lakukan belum apa-apa dan hanyalah sebuah awalan dari tanggung jawab besaryang mereka emban. Meskipun cukup menghibur dan menenangkan perasaan, aksi memukau dan analisa diatas kertas hanya akan menghasilkan harapan palsu kalau mareka tidak bisa membuktikan adanya hasil nyata yang dapat bermanfaat bagi kepentingan rakyat. Sudah bosan rasanya cuma melihat geliat para pejabat yang nyata-nyata bekerja untuk kepentingan sendiri dan merugikan begitu banyak anggaran negara. Setelah itu, Presiden cuma merasa prihatin terhadap kenyataan yang terjadi. Semoga para menteri benar-benar bekerja. Demi KITA. Hanya itu yang bisa diucapkan sebelum ada BUKTI NYATA yang mereka hasilkan demi kamakmuran rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H