Lihat ke Halaman Asli

Menghina Pengadilan

Diperbarui: 4 Januari 2016   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain banyak peraturan (perundang-undangan) yang “jelek” dan integritas serta moral sebagian penegak hukum yang rusak, persoalan hukum yang harus di hadapi dunia hukum kita adalah tindakan-tindakan merendahkan martabat pengadilan.

Di negara-negara Anglo Saxon dengan sistem hukum common law, tindakan merendahkan, menghina, menjatuhkan martabat pengadilan dan sistem yang ada di dalamnya dikenal dengan contempt of court yang diatur jelas dalam sebuah aturan perundang-undangan. Inggris pertama kali mengaturnya pada tahun 1742 berkenaan dengan doktrin pure streams of justice yang dikemudian hari diperbaharui dengan “Contempt of Court Act 1981”. Amerika baru 47 tahun kemudian mengatur tentang contempt of court dalam hukumnya setelah Inggris pertama kali mengaturnya.

Contempt of Court di Indonesia

Ketentuan tentang contempt of court di Indonesia sendiri pertama kali dimunculkan di dalam penjelasan umum UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4 (“Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu Undang-Undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/ucapan yang dapat merendahkan kewibawaan, martabat, kehormatan, badan peradilan yang dikenal sebagai contempt of court”).

Sayangnya, sekalipun sejak undang-undang itu berlaku, tidak juga ada undang-undang tersendiri yang mengatur tentang contempt of court, padahal lewat butir 4 alinea ke-4 UU No. 14 tahun 1985 dan pasal-pasal di KUHP (pasal 207-227, 231-233, 414-430, 310-318) serta KUHAP (174 ayat (2), 161 ayat (1), 176, 217, 218, 219) yang berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan, bisa menjadi landasan untuk membentuk lex specialis demi penegakan hukum yang lebih efektif. Lebih efektif karena pengaturan lebih terperinci dan lebih jelas juga sistematis.

Bisa dipahami keraguan untuk membentuk undang-undang tentang contempt of court sangat erat kaitannya dengan sistem civil law yang tidak mengenal contempt of court dalam sejarahnya. Lepas dari hal itu, reformasi hukum kita terutama dalam hal penegakan wibawa peradilan yang selama ini sudah jatuh harus sesegera mungkin dilaksanakan. Lalu apa yang dimaksud contempt of court itu?

Prof. Oemar Seno Adji pernah menjelaskan, contempt of court  bisa berbentuk; pertama, segala usaha yang dilakukan untuk memengaruhi hasil pemeriksaan. Kedua, tidak dipatuhinya perintah pengadilan. Ketiga, membuat gangguan (obstruksi) di pengadilan. Keempat, membuat skandal pengadilan dan kelima (scandalizing the court), berkelakuan tidak hormat di pengadilan (Kompas, 25 Maret 1986).

Ada lagi jenis-jenis contempt of court yang terjadi dalam keseharian yakni; direct contempt of court, di mana pelanggaran berupa penghinaan yang dilakukan oleh orang-orang yang hadir dan menyaksikan langsung sidang pengadilan. Yang melempar sandal jepit ke arah majelis hakim, yang berteriak-teriak di dalam ruang persidangan, mengejek jaksa saat persidangan berlangsung adalah contoh konkretnya. Lalu ada constructive (consequential) contempt of court yang tindakannya tidak dilakukan di dalam pengadilan, misalnya menghalangi atau bahkan menggalkan proses administrasi peradilan (Darwan Prinst, 1998: 155).

Penting menjadi catatan, bahwa subyek yang bisa dijerat karena contempt of court bukan hanya masyarakat awam, melainkan semua pihak yang berkepentingan dalam sebuah sistem peradilan yang sedang dijalankan. Subyeknya bisa para pengacara yang seenaknya memberikan interupsi, jaksa, bahkan hakim.

Pentingnya UU Contempt of Court

Perdebatan beberapa tahun terakhir tentang perlu atau tidaknya dibuat undang-undang tersendiri yang mengatur tentang contempt of court hanya berkisar ketakutan-ketakutan bahwa pihak-pihak tertentu akan (selalu) dirugikan berkaitan dengan sebuah hasil persidangan. Media massa takut dijerat karena pemberitaan yang dianggap tidak sesuai, padahal sistem peradilan kita menganut asas terbuka untuk umum yang artinya semua masyarakat bisa mengontrol jalannya persidangan sampai dibacanya putusan. Masyarakat bisa menilai apakah pemberitaan oleh media massa sesuai atau tidak selama dijalankan tanpa dibuat-buat demi kepentingan-kepentingan tertentu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline