Masalah pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan tinggi sangat banyak. Kondisinya kelihatan sangat berantakan. Mulai dari hulu sampai ke hilir, semuanya amburadul. Sayang sekali semua ini masih kelihatan begitu bias untuk segera diselesaikan, padahal dunia sudah semakin bergerak maju. Tahun depan, audah era komunitas negara-negara di kawasan. Di saat kualitas SDM negera tetangga semakin cepat melesat maju dengan konsep pendidikan tinggi mereka yang terarah, negeri ini masih ribut membicarakan (salah satunya) soal bagaimana menguliahkan anak-anak kurang mampu, yang sejak lama tidak pernah selesai.
Pendidikan tinggi di Indonesia masih pantas untuk bersedih. Ketika pemerintah sedikit menunjukkan diskresi yang baik demi peningkatan akses ke pendidikan tinggi, mahasiswanya justru berbuat ulah selama kuliah (misalnya demo melulu, menyontek terus-terusan, berkelahi, tawuran, narkoba, seks bebas dan seterusnya). Di saat banyak mahasiswa berusaha menjadi pribadi yang baik, inovatif, kompetitif dan bermoral, eh dosennya malah pesta narkoba, plagiat dan korupsi. Hingga akhirnya muncullah apa yang saya sebut sebagai "lingkaran kejahatan" dunia pendidikan tinggi, yang terus mengarahkan masa depan pendidikan tinggi Indonesia kepada jurang yang sedalam-dalamnya.
Pola lingkarang kejahatan ini sebenarnya sederhana. Ketika kampus tidak menjadi seperti yang diamanatkan kepadanya sebagai tempat untuk mempersiapkan penerus bangsa sebagai seorang cendikiawan sejati, yang memegang teguh nilai moral dan kebenaran, peduli kepada persoalan kebangsaan, sadar untuk peduli menyelesaikan masalah dimasayarakat dengan ilmunya dan tidak cuma memikirkan perutnya sendiri, maka titik pertama kejahatan sudah dimulai. Selanjutnya karena kampusnya sudah bobrok begitu, otomatis mahasiswa dan lulusan yang dihasilkan juga bobrok. Kalau mahasiswanya bobrok, mau bagaimanapun kurikulum pemerintah dirangkai, tetap saja tidak berpengaruh. Namun demikian kembali lagi ke awal, kampus yang bobrok bisa terbentuk ketika tidak ada arahan yang baik dari pemerintah. Dan begitu seterusnya sampai membentuk lingkatan kejahatan seperti yang saya maksudkan sebelumnya.
Tapi mengeluh saja tidak ada gunanya. Bagaimanapun kalau mau ada perubahan di dunia pendidikan tinggi, harus dilakukan perubahan dengan keberanian. Lingkaran kejahatan tadi harus diputus. Sebagai mahasiswa, saya mau mengajak perubahan itu dilihat dari segi mahasiswanya, yang dalam tulisan ini akan menyangkut kegiatan orientasi dan adaptasi mahasiswa baru yang diselenggarakan setiap tahun ajaran baru dimulai. Ya, soal OSPEK. Isu biasa yang sering diperbincangkan, sesering kebodohan juga selalu terjadi di dalam setiap kegoatan OSPEK.
Sudah bukan rahasia lagi, kalau OSPEK di Indonesia ini kebanyakan cuma menjadi ajang senioritas "berlagak sok-sokkan" kepada juniornya mahasiswa baru. Teriak sana-teriak sini (bahkan mengucapkan janji mahasiswa pun, mahasiswa baru harus diteriaki di bawah terik matahari). Dikasih banyak tugas setiap harinya selama OSPEK, yang kebanyakan pemberi tugas pun tidak tahu maksudnya. Bahkan beberapa tahun lalu, kita dihebohkan dengan kabar perploncoan yang biadab di salah satu kampus di Malang. Bayangkan mahasiswa baru dipaksa bersetubuh dengan temannya sesama jenis. Dan tindakan mengerikan sekaligus memalukan lainnya.
Padahal OSPEK adalah arena pertama bagi mahasiswa baru untuk melihat dunia kampus yang akan mereka hidupi. Padahal OSPEK adalah sarana bagi mahasiswa baru untuk mengenal pertama kali tempat dimana mereka akan belajar dan berkembang. Kalau arena dan sarana itu sudah memberikan kesan yang buruk dan tidak punya makna apa-apa, jangan salahkan mahasiswa baru itu kemudian berkembamg jadi orang yang tidak benar. Maka, saya selalu percaya, OSPEK harus menjadi first impression yang baik bagi mahasiswa baru, sebab dampaknya sangat penting untuk selanjutnya, baik baik mahasiswanya sendiri, bagi kampusnya lebih-lebih untuk dunia pendidikan tinggi pada umumnya.
Waktu saya mengikuti OSPEK tahun 2012, ketika diminta berdiri berbaris dengan teman mahasiswa baru yang lainnya dibawah panas matahari untuk mendengarkan jajaran BEM Universitas 'teriak-teriak', saya keluar dari barisan dan pergi ke belakang lalu duduk ditempat yang tidak panas. Tidak lama, beberapa orang panitia (senior) mendatangi saya dan (biasa) memarahi saya, sambil mengatakan bahwa saya ini songong karena duduk-duduk. Saya membentak balik mereka sambil duduk. Bahkan saya menunjuk muka seorang dari mereka untuk menggantikan saya berbaris. Sampai akhirnya mereka pergi. Perlawanan itu saya lakukan karena saya merasa tidak ada gunanya kami mahasiswa baru diperlakukan seperti itu. Selain membuang tenaga untuk hal yang tidak perlu, kegiatan itu seperti diskriminasi bagi kami mahasiswa baru. Saat itu saya berpikir, ini pelanggaran HAM.
Bicara tentang OSPEK yang aneh-aneh seperti itu tidak akan pernah selesai. Untuk itu, agar mempersingkat, saya mau mengusulkan perubahan konsep yang besar-besaran untuk OSPEK di tahun ajaran 2015/2016 yang sebentar lagi akan dilaksanakan.
Pegangannya adalah dua hal. Pertama, OSPEK harus menjadi sarana memperkenalkan dunia kampus dengan jalan yang benar. Mahasiswa baru itu masih asing dengan dunia belajar mengajar di kampus, bagaimana hidup bersosialisasi dengan orang yang lebih banyak daripada sewaktu di SMA, pengenalan akan kewajiban sesunggunya ketika menyandang status sebagai mahasiswa. Mahasiswa baru ibarat benih yang baru sampai di permukaan tanah, kalau tanahnya jelek, maka dia tidak akan tumbuh dengan baik.
Kedua, untuk mengenalkan dunia pendidikan tinggi yang begitu besar maknanya seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya itu, maka yang paling mungkin dilakukan adalah dengan pendidikan yang baik bagi mahasiswa baru di kampus barunya itu. Jadi, OSPEK harus mampu menyampaikan (deliver) nilai-nilai kampusnya, motto termasuk visi dan misi kampus. Kalau begitu, OSPEK tidak bisa sembarangan. OSPEK tidak boleh sebagai ajang perploncoan senior kepada junior, tetapi ajang bahwa senior berbagi pengalaman kepada junior, tentu soal nilai-nilai kampus yang dihidupi. Satu lagi, OSPEK juga jangan cuma jadi tradiai turun-temurun yang anti pada perubahan dan penyesuaian terhadap ruang dan waktu, yang berbalut tensi balas dendam dari senior, sebab merek juga pernah merasakan hal yang sama waktu dulu mengikuti OSPEK.
Bagaimanapun, situasi dan kondisi kampus itu berbeda-beda di seluruh Indonesia. Jadi untuk mengusulkan suatu konsep soal OSPEK tentu sangat tidak mungkin. Masing-masing kampus tentu harus bisa menemukannya sendiri. Namun begitu, bagaimanapun nilai universal yang dipegang semua kampus harusnya sama, bahwa pendidikan tinggi adalah untuk mempersiapkan manusia yang utuh dan terdidik untuk kemajuan, keamanan, kemakmuran dan perdamaian dunia lewat bidang keilmuan. OSPEK, bagi saya, turut menentukan perkembanga pendidikan seorang mahasiswa. Karena OSPEk berada paling pertama dari semua rangkaian pembelajaran seorang mahasiswa di kampus.