Lihat ke Halaman Asli

Kasus Nenek Asyani: Tamparan untuk Para (Calon) Sarjana Hukum

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah apa yang sedang terjadi di negeri ini, semua kelihatan begitu amburadul. Yang berkekurangan semakin keras menjerit, yang berlebihan semakin bangga tersenyum di atas penderitaan saudarnya yang berkekurangan. Masyarakat bukan pejabat seakan-akan semakin terlihat bodoh dan tak mengerti apa-apa, mereka yang pejabat kelihatan asik sendiri dengan kekuasaan yang dimiliki. Negeri ini begitu runyam, semua kelihatan bias dan tak beraturan.

Kalau kalimat di atas terasa menyinggung, berarti Anda menyadari dan merasakan bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi di negeri Anda yang mungkin Anda termasuk salah satu dari antaranya. Kalau itu dianggap berlebihan, silahkan Anda menggambarkannya sendiri dengan yang Anda mau. Tapi sebenarnya, apa yang sedang terjadi? Ya, sedang terjadi pembantaian terang-terangan atas nilai-nilai kehidupan kebangsaan. Saya sebenarnya tidak terlalu biasa menggunakan istilah yang terlalu bombastis seperti kata pembantaian, namun kali ini hati saya yang mendorongnya, dengan harapan tulisan ini bisa membantu mengetuk pintu nati nurani Anda atas apa yang sedang terjadi saat ini di negeri saya, negeri Anda, negeri kita semua, Indonesia.

Setidaknya kasus yang terjadi antara Polri dengan KPK beberapa waktu lalu (mungkin juga masih sampai sekarang) memperlihatkan secara jernih, siapa yang membela kepentingan bukan kepentingan rakyat. Dengan gaya "sok pintar", mereka lancar berbicara walaupun mereka tahu bahwa yang mereka katakan sebenarnya salah. Itulah cerminan pejabat Indonesia pada umumnya. Semua dilakukan demi kepentingan perutnya sendiri, sementara rakyat dibiarkan kelaparan karena ulah mereka yang tak beradab. Lama-lama rakyat jenuh dan kalau sudah demikian, negeri ini berhadapan dekat dengan pintu kehancuran.

Itulah gambaran situasi Indonesia saat ini dilihat dari konteks yang sangat umum. Dari sisi ekonomi, kita juga masih kelihatan berat sebelah soal keberpihakan. Sumber daya alam yang oleh konstitusi seluruhnya diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat, nyatanya hanya dinikmati segelintir orang. Dari sisi budaya, kita juga semakin meninggalkan ciri khas ke-Indonesia-an kita. Budaya-budaya sendiri semakin luntur, budaya orang lain semakin asik dinikmati. Pemerintah juga tidak (atau mungkin belum) bisa berbuat banyak. Dari sisi politik sudah tidak perlu diragukan kerusakannya. Pernyataan bahwa politik kotor bisa dibuktikan dengan melihat perpolitikan praktis di Indonesia. Saling sikut dan saling tendang. Semua dilakukan tak terkecuali dosa. Politikus kebanyakan selamat dari pandangan politikus kotor, tapi itu hanya karena mereka pintar bersilat lidah.

Dan dari sisi hukum? Inilah yang menjadi fokus bahasan saya dalam tulisan ini. Dunia hukum kita sebenarnya tidak jauh beda kotornya dengan sisi-sisi yang lain yang disebut sebelumnya. Intinya: Rusak dan Kotor. Saya tidak menemukan padanan kata yang lebih lembut yang bisa menggantikan dua kata itu. Apanya yang rusak? Sistemnya. Hukum kita masih menggunakan jiwa hukum kolonial. Hukum kita masih mendasarkan dirinya kepada pola berpikir hukum dari negeri orang, padahal sudah sangat tidak relevan dengan konteks Indonesia. Anggota DPR juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk pembaharuan hukum Indonesia. Sistem yang rusak ini yang turut merusak bangsa ini.

Lalu apanya yang kotor? Tindakan penerapan dan penegakkan hukum itu sendiri, termasuk di dalamnya mengenai siapa dan bagaimana cara menerapkan dan menegakkannya. Sudah bukan rahasia, kalau dalam benak masyarakat pada umumnya dunia hukum Indonesia dipandang sebagai tempat dimana keadilan dan ketidakadilan tidak ada bedanya, pada akhirnya setiap orang yang berurusan dengan hukum sama-sama harus membayar alias membeli hukum. Yang bisa membayar, bisa selamat. Yang tidak bisa, silahkan Anda masuk penjara.

Bagaimana bisa membuktikannya? Kita bisa sama-sama lihat dari berita, hampir setiap hari kejadian-kejadian yang memperlihatkan kerusakan dan kekotoran dalam dunia hukum itu bisa ditonton. Hakim, jaksa, sampai hakim konstitusi menerima suap, polisi korupsi, pejabat pemerintahan melakukan korupsi, dan seterusnya. Sangat membuat perut mual. Dunia hukum kita sudah dalam tahap sangat kritis dan efek paling besarnya adalah kerusakan Indonesia pada umumnya.

Sekarang sedang muncul kasus Nenek Aryani yang dituduh mencuri tujuh batang kayu. Adakah yang istimewa dari kasus ini? Sebenarnya tidak ada, sebab siapa yang bersalah dia harus dihukum. Tapi persoalan hukum tidak secetek itu. Hukum itu bukan semata-mata untuk menghukum yang bersalah, tetapi harus mencapai yang adil dengan menegakkan hukum dalam koridor keadilan itu sendiri. Karena keadilan itu abstrak dan sama sekali tidak kelihatan, maka untuk mencapainya juga tidak bisa hanya menimbang yang tertulis sebagai pasal-pasal itu. Harus ada yang abstrak dan tak terlihat juga yang harus dipertimbangkan. Intinya keadilan dalam hukum juga dipengaruhi oleh kepekaan mendengarkan hati nurani.

Apa yang mau saya katakan berkaitan dengan kerusakan dan kekotoran hukum sebelumnya? Titik tolaknya adalah bahwa kerusakan dan kekotoran hukum itu salah satunya muncul akibat para penegak hukum (mereka-mereka Sarjana Hukum) tidak mau mendengarkan hati nuraninya, padahal saya yakin seratus persen, mereka paham bahwa salah satu tujuan hukum adalah mencapai keadilan di masyarakat. Kasus Nenek Aryani menjadi contoh konkret bahwa hukum semata-mata dijalankan dari kaca mata melihat pasal-pasal saja. Nenek renta itu ditangkap dan ditahan. Salahkan penegak hukum melakukannya? Tidak sama sekali, kalau dilihat dari sisi hukum formalnya, yang tertulisnya. Tapi apakah mencapai tujuan yang lebih jauh dari hukum, keadilan? Saya berani menjawab tidak sama sekali.

Sederhana saja, kasus pencurian (kalau memang Nenek Aryani mencuri) yang dihadapi Perhutani bukan sedikit, sangat banyak. Jumlah pencurian kalau dalam kasus pembalakan liar juga tidak 10 atau 20 batang pohon, tetapi berratus-ratus atau bahkan berribu-ribu. Lalu apa tindakan hukum yang kelihatan tegas untuk kasus-kasus itu? Berapa putusan pengadilan tentang kasus-kasus semacam itu? Berapa oknum kelas kakap yang dipenjarakan karena sudah melakukan pembalakan liar yang merugikan negara dan lingkungan? Harusnya tidak bisa disalahkan, kalau jawabannya: masih sedikit. Setidaknya kelihatan belum serius.

Sekarang ada seorang nenek, yang mengambil tujuh batang kayu, serta merta harus ditangkap dan ditahan. Bahkan untuk berjalan saja sudah harus ditopang, tetapi diperlakukan seperti pembalak kelas kakap sehingga harus ditangkap dan ditahan. Ironisnya, Nenek Aryani harus diadili di muka persidangan. Secara logika sehat ini tidak dapat diterima. Mereka yang masih memiliki kepekaan untuk mendengarkan hati nurani mesti berteriak dari hatinya, bahwa ketidakadilan dalam dunia hukum Indonesia lagi-lagi terjadi. Lalu apa yang harus dilakukan? Saya hanya bisa mengingatkan, sebagai calon Sarjana Hukum, kepekaan mendengar hati nurani akan memberikan harapan bahwa dunia hukum Indonesia yang rusak dan kotor itu bisa segera diperbaiki. Karena kalau mendengar hati nurani, kebaikan atau segala yang baiklah yang akan Anda usahakan terjadi. Dunia hukum kita membutuhkan sarjana-sarjana hukum yang peka mendengarkan hati nuraninya.

Sekali lagi saya mengatakan bahwa kasus semacam kasus nenek Aryani bukan sekali dua kali terjadi, kalau seperti ini terus terjadi dalam kondisi dan situasi dunia hukum kita yang seperti ini, lama-lama kondisi kekacauan Indonesia semakin terasa. Sebab semua orang akan percaya bahwa keadilan tidak yang sebenarnya adalah ketidakadilan itu sendiri. Hukum pada akhirnya tidak bermakna apapun, penegak huku  tidak ada harga lagi sebagai manusia. Kalau itu tidak mau terjadi, para sarjana hukum harus belajar peka mendengarkan hati nuraninya.

Terlepas dari segi formal hukum yang sedang dialami dan harus dijalani nenek Aryani, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bagaimana kasus ini dapat segera diakhiri dengan adanya rasa keadilan bagi nenek secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum. Kalau saya bisa berpesan pada Perhutani, ini bukan hanya soal bahwa semua orang sama dimuka hukum, ini juga soal bagaimana hukum menciptakan preseden baik yang berkeadilan. Kalau Perhutani mau konsisten dengan omongannya bahwa semua orang sama di muka hukum, maka selesaikan setuntas-tuntasnya kasus pembalakan liar. Jangan hanya pihak seperti nenek Aryani yang renta tetapi kepada semua, tanpa memandang siapa dia, seberapa berpengaruh dia, seberapa kaya dia.

Bagi dunia pendidikan tinggi hukum, ini menjadi tamparan keras yang harusnya membuat para (calon) Sarjana Hukum berrefleksi dan bertanya pada diri: dengan kesarjanaan hukum yang saya miliki saya mau berbuat apa? Sehingga lebih jauh, bisa kemudian bertanya: apakah saya layak menyandang gelar sarjana hukum itu? Tapi kalau hati nurani Anda diajak berbicara, seberapapun sulitnya, Anda layak dianggap sebagai seorang sarjana hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline