Lihat ke Halaman Asli

Menunggu Polisi Seperti Katsumoto

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Katsumoto,sang samurai, terus maju merangsek ditengah hujan peluru dari bedil amerika ditangan prajurit jepang muda. Di sisi kirinya, Nathan, sang pelatih amerika yang dikontrak oleh kaisar dan beralih mendukung perjuangan samurai, memacu kudanya sama kencangnya.

Tiba-tiba senapan mesin otomatis dikeluarkan dari sarungnya dan 20 an peluru berdesing menembus badan sang samurai. DIA jatuh dari kuda dalam gerakan diperlambat, mulut mengeluarkan darah, dan ringisan kesakitan memancar dari wajahnya yang keras.

Nathan, sahabatnya, memapahnya berlutut dan kemudian menghujamkan pedangnya ke dalam perut sang samurai, mata Katsumoto membelalak menahan sakit kemudian memerah dan dengan suara lemah dia berkata "Sempurna, semuanya begitu sempurna", mata itu memancarkan terima kasih mendalam, kemudian mata itu padam.

Semua prajurit kaisar yang barusan menembakinya, berlutut menghormati padamnya jiwa Katsumoto, mata mereka basah oleh air mata, dan diam-diam ke-perwira-an itu merasuki jiwa mereka.

Di istana kaisar, utusan amerika berunding dengan kaisar dan memaksakan kehendak mereka, tiba-tiba Nathan masuk ke ruangan itu, berlutut dihadapan kaisar dan menyerah kan pedang Katsumoto ke hadapan Kaisar Muda.

Kaisar memegang pedang itu dan berkata : "Ceritakan bagaimana dia mati". Setelah Nathan menceritakan ke perwira an Katsumoto, dia kembali ke singgasana nya dan berkata kepada duta amerika "saya sudah salah mengerti kemauan rakyat, perjanjian batal". Duta amerika keluar dari ruangan dengan murka, dan seratus tahun kemudian, rakyat jepang  menjadi rakyat yang sejahtera dan sejajar dengan bangsa-bangsa maju.

Dada kita menggemuruh melihat  kepahlawanan itu, dan kita rindu melihat Katsumoto berkuda di pantai losari di makassar. Membela mati2an apa yang dimiliki oleh bangsa jepang membuat Katsumoto rela berkalang tanah.

Di dalam masa sekarang ini, seorang perwira tidak perlu mati tertembak peluru, tapi dia harus berani mengatakan kebenaran dengan cara-cara yang baik tanpa harus bersikap kurang ajar. Membayangkan Katsumoto, saya membayangkan bagaimana seorang polisi harus bertindak, sebagai pelindung dan pengayom rakyat.

Kita mengira Perwira Katsumoto sudah mati dan itulah kesalahan yang terbesar yang kita simpulkan dari cerita di atas. Pada waktu pedang itu menghujam kedalam lambungnya dalam saat yang sama Katsumoto bangkit dalam jiwa ribuan prajurit jepang yang sedang bertempur dan sekarang ini semangatnya hidup dalam ratusan juta jiwa orang jepang. Polri pernah punya Katsumoto yang bernama Hugeng puluhan tahun yang lalu, yang berani memerintahkan pengembalian pemberian barang seorang cukong di Medan pada waktu menjadi kapolda di Sumatera Utara, yang berani mati dalam kesederhanaan, dan yang berani menghadapi pemecatannya dari rezim berkuasa karena tidak mau tunduk pada perintah yang salah.

Yang saya herankan, kita melihat keberanian itu sebagai suatu kebodohan dan oleh karena itu Pak Hugeng tidak pernah hidup di hati para perwira polri kita dan pengorbanannya menjadi sia-sia karena  mobil dan laptop yang memenuhi pikiran kita.

Tapi saya percaya, besok perwira polri akan lebih baik. Pak Hugeng yth, kami rindu mendengar kembali musik hawaian yang begitu indah melambai, dan terutama kami rindu kesederhanaanmu dan prinsipmu yang kuat. Terima kasih pernah menjadi polisi, karena rakyat bingung dengan polisimu sekarang ini!!!!. [PR].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline