"Api konflik di Papua masih membara. Pendekatan keamanan dan pembangunan dari pemerintah Indonesia tidak mampu memadamkannya. Alasannya sederhana, Papua punya ras dan suku bangsa sendiri, Melanesia, berbeda dari Indonesia lainnya. Selain itu, Papua juga memiliki akar sejarah dan ideologinya sendiri."
***
Pemerintah Indonesia selalu bilang bahwa Papua sudah final di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA 1969). Tetapi, mengapa api konflik ideologi dan politik Papua Merdeka tidak pernah padam? Mengapa orang Papua tidak mengakui hasil PEPERA itu? Mengapa sampai saat ini OAP merasa bukan bagian dari Indonesia?
Mengingat konflik di Papua telah menelan ribuan korban jiwa orang asli Papua (OAP) dan militer Indonesia, maka perlu dipikirkan kembali, strategi dan pendekatan untuk penyelesaian permasalahan Papua. Apa yang perlu dilakukan di tanah Papua supaya keadilan dan kebenaran dapat berdiri tegak, sehingga perdamaian dapat tercapai?
Kita melihat secara terang benderang bahwa konflik di Papua bukan sekedar konflik sosial dan masalah kesenjangan pembangunan, bukan pula karena faktor kesejahteraan, melainkan konflik sejarah dan ideologi politik. Orang Papua memiliki akar sejarah sendiri. Bahwa pada tanggal 1 Desember 1961, orang Papua telah memproklamirkan kemerdekaannya. Bangsa Papua hanya berusia 18 hari. Karena, pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora. Sejarah Papua ini tetap tinggal di relung jiwa OAP sampai saat ini.
Kita melihat bahwa pemerintah Indonesia tidak mampu meyakinkan OAP bahwa mereka itu Indonesia. OAP sendiri tidak merasa diri sebagai bagian dari Indonesia. Kesenjangan ini terjadi lantaran, keduabela pihak memiliki perspektif tentang Papua. Bagi Indonesia, Papua sudah final di dalam rumah NKRI. Bagi OAP, keberadaan Indonesia di tanah Papua ilegal. Karena itu, api konflik Papua selalu membara dan tidak pernah padam sampai saat ini.
Kita bertanya, bagaimana memadamkan api konflik Papua ini? Pemerintah Indonesia dan OAP harus saling bicara secara terbuka dan jujur. Nilai-nilai kemanusiaan harus dikedepankan: kasih, kebenaran, keadilan. Apa artinya, memiliki tanah Papua, tetapi hanya menuai kematian demi kematian? Karena itu, demi terciptanya perdamaian yang permanen di tanah Papua, maka pemerintah Indonesia dan Papua harus saling bicara secara terbuka dan jujur.
Sampai saat ini, kita bertanya, "Api konflik Papua kapan akan padam?" Sebuah pertanyaan, yang mengundang kita untuk tergerak dan berpikir tentang masa depan Papua dan Indonesia. Di tanah Papua, kita menyaksikan dan mengalami bergelimang kekerasan, yang berujung kematian. Tidak sedikit tentara dan polisi Indonesia gugur. Tidak sedikit pula OAP yang mati. Apakah kita membiarkan situasi ini terus berlarut? Atakah kita akan memulai sebuah upaya bersama untuk menyelesaikannya secara menyeluruh?
Pendekatan keamanan di seluruh tanah Papua selama ini gagal. Operasi militer dan intelejen tidak menyelesaikan permasalahan Papua. Indikatornya sederhana, pemberontakan berlanjut terus dan OAP tidak merasa bagian dari Indonesia.
Pendekatan pembangunan juga tidak efektif. Pemerintah Indonesia membangun infrastruktur mewah, seperti bandara, pelabuhan laut, jalan, perbatasan, tetapi tidak mengubah kehidupan sosial politik OAP. Indikatornya sederhana, gerakkan penentuan nasib sendiri bagi Papua semakin menguat sampai dunia internasional.
Mengingat begitu banyak korban jiwa dan harta akibat konflik Papua ini, maka pemerintah Indonesia dan OAP perlu menyepakati suatu tindakan bersama untuk mengakhiri konflik ini. Apakah perundingan atau dialog, atau apa pun namanya, yang penting, dapat menjawab kerinduan OAP agar bisa hidup damai, sejahtera dan panjang usia di rumahnya sendiri, tanah Papua. [Merauke, 20 Januari 2024; 12:16 WIT].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H