Lihat ke Halaman Asli

PETRUS PIT SUPARDI

TERVERIFIKASI

Menulis untuk Perubahan

Pangan Sehat dari Halaman Rumah

Diperbarui: 13 Januari 2025   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pekarangan rumah dengan tanaman pepaya. Dokpri.

"Pangan sehat semestinya ada di dekat rumah, tetapi kita sengaja menjauhkannya ke pasar. Kita perlu sadar dan memulai gerakkan menanam di halaman pekarangan rumah!"_Petrus Pit Supardi

Pemerintah Indonesia sedang gencar bikin sawah baru. Hutan hujan alam dikonversi dengan tanaman padi. Misalnya, di Provinsi Papua Selatan, tepatnya di Wanam, ribuan alat berat didatangkan untuk membuka lahan sawah. Ironisnya, Wanam merupakan daerah rawa-rawa. Tidak sedikit alat berat tenggelam ke dalam lumpur.

Cita-cita swasembada pangan, terutama beras mendorong pemerintah pusat berupaya membuka sawah baru seluas-luasnya.  Kementerian Pertanian bikin program petani milenial. Selain itu, pemerintah juga melibatkan pengusaha. Harapannya, panen padi meningkat dan beras melimpah.

Di sisi lain, kita bertanya, sejauh mana efektivitas program petani milenial dan keterlibatan pengusaha dalam program swasembada pangan? Bukankah keduanya, baik petani milenial maupun keterlibatan pengusaha dalam proyek cetak sawah hanya sekedar untuk menyerap APBN?

Swasembada pangan dan kemandirian pangan semestinya lahir dari kesadaran individu dan komunitas basis masyarakat. Orang secara pribadi harus sadar, tahu dan mau mengelola pekarangan rumahnya dengan tanaman produktif. Demikian halnya, komunitas masyarakat perlu bergotong-royong dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

Kita bisa melihat dan mengamati, bagaimana kondisi pekarangan rumah warga masyarakat saat ini? Apakah di halaman rumah tempat tinggal, ada tanaman sayur-mayur, tanaman bumbu dapur, dan tanaman produktif lainnya? Ataukah halaman rumah menjadi tempat subur belukar? Atau halaman rumah hanya sekedar pajangan beberapa pot bunga?

Pangan sehat dari halaman rumah merupakan sebuah undangan untuk terlibat dalam upaya menghasilkan pangan bagi keluarga. Kalau kita bisa menanam cabe, jahe, kunyit, sayur-mayur, umbi-umbian di halaman pekarangan rumah, mengapa kita tidak melakukannya?

Di sisi lain, ada banyak lahan tidur, tidak produktif, mengapa tidak diolah sehingga menjadi lahan produktif? Ada banyak alasan lahan tidur tidak diolah, misalnya karena tidak adanya sumber air. Maka, intervensi teknologi perlu diterapkan sehingga lahan tidur itu bisa diolah menjadi produktif.

Daripada membuka lahan baru, dengan biaya besar dan melibatkan pengusaha, lebih tepat menggerakkan komunitas basis masyarakat untuk mengaktifkan lahan-lahan tidur itu. Pemerintah menyiapkan tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), benih, pupuk, dan masyarakat bisa mengolah lahannya masing-masing. Daripada menghabiskan anggaran untuk merusak hutan hujan alam dan belum tentu berhasil, lebih baik menghidupkan kembali lahan-lahan yang sedang mati suri itu.

Kita mulai membangun kesadaran kolektif, bahwa ketersediaan pangan bagi keluarga merupakan tanggung jawab kita bersama. Setiap orang wajib menanam di halaman pekarangan rumah. Pemerintah dengan kewenangannya perlu mengaktifkan lahan yang terlantar. Kolaborasi pemerintah dengan komunitas masyarakat perlu diintensifkan sehingga cita-cita kemandirian pangan berbasis keluarga dapat tercapai. [Merauke, 13 Januari 2024; 11.40 WIT]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline