"Kami ini siapa sehingga selalu mengalami diskriminasi, stigma,
penyiksaan, kekerasan dan pembunuhan?"
***
Di hadapan penderitaan, Orang Asli Papua (OAP) mempertanyakan eksistensi pribadinya. "Siapakah kami OAP di dalam rumah NKRI?" Pertanyaan-pertanyaan reflektif ini tidak lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari kenyataan, fakta empiris, dalam kehidupan sehari-hari, yang memperlihatkan OAP mendapatkan perlakukan tidak adil seturut martabat pribadinya sebagai manusia yang luhur, mulia!
Indonesia dengan dalih bahwa wilayah Papua bagian Barat yang menjadi jajahan Belanda adalah milik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan alasan itu, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Trikora, 19 Desember 1961, tepat 18 hari setelah Papua memproklamirkan kemerdekaannya, pada 1 Desember 1961. Dekrit itu, menandai dimulainya operasi militer Indonesia di tanah Papua sampai hari ini.
Kita juga mengenal Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Suatu cara manipulatif Indonesia, untuk menguasi Papua. Alasan untuk mengatakan demikian sangat sederhana. Bagaimana mungkin rakyat Papua saat itu, berjumlah 800 ribu, hanya diwakili oleh 1.025 orang peserta Pepera? Selain itu, para peserta ditentukan sendiri orang Indonesia, di bawah ancaman todongan senjata harus pilih bergabung dengan Indonesia. Lebih ironis lagi karena sebagian peserta Pepera bukan OAP, melainkan non-OAP. Sejarah kelam itu, kini terbuka luas, kita bisa akses tanpa batas!
Otsus Setengah Hati
Melalui Tim 100, pada 26 Februari 1999, OAP minta merdeka secara terhormat di hadapan Presiden B.J Habibie. Tetapi, Habibie bilang, "....pulang dan renungkan!" Sebuah ajakan dan permintaan normatif dan tidak semestinya. Sebab, seharusnya Indonesia-lah yang merenungkan, "mengapa OAP minta Merdeka?" Ilustrasi sederhana, "di dalam sebuah rumah tangga, kalau hidup kacau balau, berkelahi, tidak saling percaya, apa lagi rumah tangga dibangun di atas dasar kebohongan, pasti hancur dan terjadilah perceraian!"
OAP menuntut kemerdekaan, dengan korban nyawa yang tidak sedikit, lalu Indonesia memberikan Otsus sejak tahun 2001. Tetapi, selama dua dekade pertama, 2001-2021, Otsus tidak memadamkan api Papua Merdeka. Justru teriakan Merdeka semakin bergema. Kita lihat di seluruh tanah Papua, OAP bicara Merdeka! Di pasar, di sekolah, di kampus, di kantor pemerintah, di pinggir jalan, di hutan, di laut, di sungai, di rawa-rawa, gema Papua Merdeka semakin kencang.
Mengawali Otsus Papua, dua dasawarsa ke depan, 2021-2041, Indonesia melakukan revisi UU Otsus Papua, yang melahirkan empat bayi provinsi: Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya. Tetapi, apakah pemekaran provinsi ini akan memadamkan api Papua Merdeka? Tidak! Kita melihat demonstrasi tuntut keadilan untuk Papua semakin meluas di kota-kota provinsi pemekaran itu, seperti di Wamena, Nabire, Sorong, Merauke.
OAP mengalami ketidakadilan di eras Otsus. Kita bisa melihat, saat Pemilu sejak dua puluh tahun silam sampai saat ini, kursi DPR Kabupaten, DPR Provinsi, DPR RI, DPD RI "dicuri" oleh orang non-OAP. Kita bisa lihat di beberapa kabupaten/kota, di tingkat Provinsi, Ketua DPR dipimpin oleh orang non-OAP. Sangat ironis! Otsus Papua memang setengah hati.
Terhadap kenyataan-kenyataan sebagaimana diuraikan di atas, apa yang kita pikirkan? Apakah kita masih akan terus membiarkan OAP menderita di dalam tanah airnya sendiri? Atau kita perlu memikirkan dan mencari solusi, cara-cara baru, melalui jalan dialog, untuk membincangkan situasi penderitaan OAP ini? Atau sebaliknya, kita menyetujui pendekatan militer, pendekatan keamanan, pendekatan pembangunan, yang selama ini telah diterapkan oleh Indonesia di tanah Papua tetapi berdampak positif bagi OAP?
Demi Martabat Kita Bersama
Kemanusiaan kita berada di atas segala-galanya. Siapa pun kita, apa pun ras, suku, agama, kita manusia. Kita memiliki martabat luhur dan mulia. Karena itu, kita tidak boleh mengorbankan kemanusiaan kita atas nama apa pun!
Kita memiliki sejarah dan ideologi, tetapi apa maknanya di hadapan kemanusiaan kita? Sejarah dan ideologi, seharusnya menyuburkan, menghidupkan hidup kita, bukan sebaliknya mematikan! Apabila kita mengabaikan martabat luhur, kemanusiaan universal kita, maka apa artinya hidup sebagai sebuah bangsa, negara?