Hari ini, Minggu, 27 November 2022, Gereja memasuki masa Adven. Sebuah periode waktu selama empat minggu, yang dikhususkan oleh Gereja sebagai kesempatan berahmat untuk mempersiapkan diri menyambut perayaan Natal, kelahiran Tuhan Yesus Kristus.
Dalam konteks Papua, masa Adven merupakan kesempatan bagi umat Allah, secara khusus jemaat orang asli Papua (OAP) untuk merefleksikan makna eksistensinya di hadapan sesama manusia, alam, leluhur dan Tuhan Allah. Jemaat diingatkan untuk memasuki rumah hidupnya dan melihat kembali relasi rangkap empat itu.
Pada masa Adven ini, kita perlu melihat bagaimana kondisi hidup Gembala dan kawanan domba di tanah Papua selama ini? Bagaimana perhatian para Gembala terhadap kawanan domba di kampung-kampung terpencil di tanah Papua? Bagaimana solidaritas warga Gereja terhadap orang miskin yang menderita dan alam di tanah Papua ini?
Gembala dan Domba yang Terpisah
Kita melihat bahwa rumah Gereja Papua tidak sedang baik-baik saja. Indikatornya sederhana. Gembala dan kawanan domba terpisah. Disparitas keduanya melahirkan ruang kosong bernama "ketidak percayaan!" Gembala dan kawanan domba saling tidak percaya.
Di mimbar-mimbar dan altar-altar para Gembala berbicara tentang Allah yang miskin dan melarat. Ia tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala. "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." (Matius 8:20).
Tetapi, para Gembala mempraktekkan hidup mewah. Lihatlah di kota-kota di tanah Papua. Gedung gereja megah dan mewah. Demikian halnya, rumah pastoran mewah dilengkapi fasilitas mobil. Sementara jemaat hidup melarat dan terkapar tak berdaya.
Pada masa Adven ini, Gereja merefleksikan kedatangan Putera Allah, yang mengosongkan diri. "Ia telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia," (Filipi 2:7). Yesus Putera Allah, mengambil rupa manusia. Bukan manusia kaya, tetapi miskin dan melarat.
Yesus lahir di kandang ternak di Betlehem (Lukas 2:1-20). Baru beberapa hari saja, Ia telah mengungsi ke Mesir, (2:13-15). Lalu, pada perjamuan bersama para murid-Nya, Ia mencuci kaki para murid (Yohanes 13:1-20). Puncaknya, Ia wafat di kayu salib (Matius 27:32-61).
Meskipun Yesus mengambil rupa manusia miskin, tidak demikian dengan para Gembala-Nya saat ini. Para Gembala di tanah Papua mempratekkan hidup mewah di tengah hidup jemaat, secara khusus jemaat orang asli Papua (OAP) yang hidup miskin, melarat dan tertindas.