Lihat ke Halaman Asli

PETRUS PIT SUPARDI

TERVERIFIKASI

Menulis untuk Perubahan

Pemekaran Tiga Provinsi di Papua dan Bahaya Kepunahan OAP

Diperbarui: 13 Juli 2022   22:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelabuhan laut Samabusa, Nabire, 12 Maret 2022. Dokpri.

Pekik penolakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB), khususnya tiga provinsi di tanah Papua: Papua Selatan, Papua Tengah dan Pegunungan Tengah bergema keras di kalangan masyarakat "akar rumput," di wilayah adat Meepago, Lapago dan hampir di seluruh tanah Papua, kecuali Papua Selatan, yang sejak 12 Februari 2002, 20 tahun silam, elit politiknya mendeklarasikan pembentukan provinsi Papua Selatan. Gema penolakan orang asli Papua (OAP) terhadap pembentukan DOB di Papua itu tidak dihiraukan oleh pemerintah NKRI di Jakarta. Hal ini terjadi lantaran, sejumlah elit OAP, baik yang saat ini masih berkuasa di pemerintahan, DPR Papua dan DPR-RI maupun yang sudah tidak berkuasa lagi mendukung pemekaran provinsi di Papua.

Kita melihat bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) tetap membahas dan menetapkan tiga provinsi baru di tanah Papua. 

Pada 27 Juni 2022, Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) DOB di tanah Papua telah menetapkan provinsi Papua Selatan yang terdiri atas kabupaten Merauke, Asmat, Boven Digoel dan Mappi, dengan kota Merauke sebagai ibu kota provinsi Papua Selatan. 

Provinsi Papua Tengah terdiri atas kabupaten Nabire, Mimika, Paniai, Dogiyai, Intan Jaya, Puncak Jaya, Puncak dan Deiyai dengan Nabire sebagai ibu kota provinsi Papua Tengah. Provinsi Pegunungan Tengah terdiri atas, kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Tolikara, Yahukimo, Yalimo, Nduga, Mamberamo Tengah dan Pegunungan Bintang beribu kota di Wamena, Jayawijaya.

Kita bertanya, "siapa punya kepentingan dengan pemekaran provinsi di tanah Papua? Orang Asli Papua (OAP) dapat apa dari pemekaran provinsi di Papua?"

Kita harus mengakui dengan jujur bahwa pemekaran tiga provinsi di tanah Papua merupakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) demi mempertahankan Papua tetap berada di dalam rumah NKRI. Kita menyimak pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang mengatakan bahwa pemekaran provinsi di Papua berdasarkan analisis data intelejen dan kepentingan nasional. "Kita kan dasarnya data intelejen. Kemudian, data-data lapangan kita ada. Situasi nasional," tutur Tito Karnavian sebagaimana dimuat dalam media Kompas online, 30 Oktober 2019.

Elit politik Papua menyambut keinginan penguasa NKRI untuk memekarkan provinsi di tanah Papua dengan sukacita. Kita melihat para elit Papua, menggandeng tokoh adat, paguyuban Nusantara dan pemimpin agama, terutama pimpinan Gereja untuk mendukung pemekaran provinsi di tanah Papua.

Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC secara terang-benderang mendukung pembentukan provinsi Papua Selatan. "Kita belajar dari provinsi Papua Barat. Setelah pemekaran, mereka maju," tuturnya pada 21 Mei 2022. Ia menambahkan bahwa pemekaran provinsi Papua Selatan demi kemanusiaan. Karena itu, dirinya selaku Uskup Agung Merauke dan juga Uskup Agats, Mgr. Aloysius Murwito OFM mendukungnya.

Penguasa NKRI dan elit Papua berasumsi bahwa pemekaran provinsi di Papua merupakan langkah tepat untuk menjangkau dan melayani masyarakat. Imajinasi hidup sejahtera menjadi landasan membangun Papua. 

Data-data penelitian tentang Papua tidak pernah digunakan dalam perencanaan pembangunan dan penyelesaian permasalahan Papua. Bahkan pemekaran provinsi di Papua tidak mengedepankan data-data kajian ilmiah, melainkan analisis data intelejen, seperti yang diutarakan oleh Tito Karnavian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline