Pandemi virus corona pertama kali dilaporkan ditemukan di kota Wuhan, China, pada Oktober 2019. Virus corona melintasi benua dari kota Wuhan ke seluruh dunia, tanpa kecuali. Dalam waktu singkat, jutaan orang telah terinfeksi. Ratusan ribu nyawa telah meninggal dunia, baik pasien positif virus corona maupun tenaga kesehatan yang berada di garis depan.
Kita menyaksikan negara maju sekalipun seperti Amerika Serika, Italia, Rusia cukup kewalahan mengatasi virus corona ini. Berbagai kebijakan diterbitkan oleh setiap negara untuk mengatasi virus yang sampai saat ini belum ada vaksinnya itu. Di Indonesia, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, pada 31 Maret 2020.
Di setiap daerah, Gubernur dan Bupati mengeluarkan surat keputusan penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB) virus corona. Berbagai kebijakan tersebut menjadi instrumen dasar untuk menyelamatkan warga masyarakat dari kematian akibat virus corona.
Seketika, hiruk pikuk dan keramaian dunia berubah total. Umat manusia kembali ke rumah masing-masing. Tempat-tempat ibadah tutup. Perkantoran pemerintah dan swasta tutup. Pusat-pusat perbelanjaan, toko dan mall pun tutup atau hanya beroperasi beberapa jam saja. Penerbangan domestik dan internasional sangat terbatas hanya untuk keperluan bantuan kemanusiaan. Kapal penumpang tidak berlayar. Hotel dan tempat wisata pun tidak beroperasi. Dunia menjadi sepi.
Virus corona telah "mengurung" umat manusia di dalam rumah selama berbulan-bulan. Kebijakan lockdown dan PSBB memaksa manusia untuk tinggal di rumah masing-masing. Pada masa pandemi virus corona, lahirlah istilah kerja dari rumah, berdoa dari rumah, belajar dari rumah. Semua aktivitas berlangsung di rumah.
Pandemi virus corona serentak pula mengundang solidaritas kemanusiaan. Bangsa-bangsa saling membantu. Misalnya, China mengirimkan tenaga medisnya ke Italia. Negara mengalokasikan anggaran besar untuk bantuan bagi keluarga-keluarga yang mengalami dampak virus corona. Solidaritas juga lahir dari organisasi sosial kemasyarakatan dan individu-individu yang peduli pada penderitaan sesamanya.
Secara spiritual, Paus Fransiskus mengeluarkan seruan doa dan puasa lintas iman, pada 14 Mei 2020 untuk memohon belas kasih Tuhan bagi dunia, terutama umat manusia dan alam semesta yang sedang menderita akibat virus corona. Setiap negara melaksanakan doa dan puasa tersebut seturut keyakinan warga masyarakatnya.
Di tengah pandemi virus corona, ketika manusia berdiam diri di dalam rumah, kita menyaksikan langit cerah, awan biru tampak di angkasa raya. Misalnya, di Jakarta, bertahun-tahun, orang tidak bisa menyaksikan langit biru, tetapi pada bulan Maret silam, dua minggu setelah virus corona mengurung warga Jakart di rumahnya masing-masing, orang bisa menikmati kembali langit cerah yang telah hilang puluhan tahun itu.
Pandemi virus corona, di satu sisi membuat manusia tidak bisa beraktivitas dan perekonomian dunia terseok-seok, tetapi di sisi lain memulihkan luka-luka alam yang disebabkan oleh keserahakan manusia. Selama puluhan tahun, alam menjerit karena perilaku individualistik dan konsumtif yang dipraktekkan umat manusia. Hutan, tanah, air udara menanggung penderitaan luar biasa karena ketamakan dan kerakusan manusia.
Paus Fransiskus menarasikan penderitaan Ibu Pertiwi (Mama Bumi) dalam enseklik Laudato Si, "Saudari ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan penyalahgunaan kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya.
Kita berpikir bahwa kita adalah tuan dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hatikita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, di dalam air, di udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang palingkita abaikan dan lecehkan." (Laudato Si. Nomor 2).