"Sehebat apa pun laki-laki, dia pernah tidur dalam rahim perempuan. Ia lahir dari rahim perempuan. Ia menyusui dari air susu yang ada di dalam buah dada perempuan yang melahirkannya. Maka, ketika seorang laki-laki merendahkan perempuan, ia sebenarnya sedang merendahkan Mama yang melahirkan, menyusui dan membesarkannya."
Cuaca di kota Agats sedang hujan. Penghuni tanah lumpur Asmat bersukacita menyambut datangnya berkat dari langit setelah dua minggu panas terik, Rabu, (4/12/2019). Ketika panas dan tidak ada air hujan, orang pertama yang gelisah adalah perempuan, terutama Mama. Tatkala hujan tiba, Mama pula yang sibuk menadah air. Ia akan memastikan bahwa semua tangki air (drum), bak air dan ember terisi air.
Pada sore hari, tatkala melintasi kampung-kampung di Agats, kita dapat melihat Mama dan anak-anak perempuan membelah kayu bakar. Setelah kayu terkumpul, mereka mengisinya dalam karung yang dirancang bertali panjang. Karung berisi kayu itu diletakkan di kepala. Lalu mereka berjalan kembali ke rumah.
Di Agats, kita juga menyaksikan pada sore hari, Mama-Mama dan anak perempuan duduk di tepi jalan. Mereka menjual ikan, udang, kepiting, sayur dan noken. Pada saat matahari kembali ke peraduannya, mereka pulang ke rumah.
Di rumah, Mama-Mama dan anak perempuan memasak dan mempersiapkan segala kebutuhan makan malam untuk keluarga. Tatkala pagi tiba, Mama-Mama dan anak perempuan kembali beraktivitas, memasang api di tungku, memasak dan mencuci pakaian. Ketika pekerjaan di dalam rumah sudah selesai, mereka lekas pergi ke dusun atau sungai untuk menjaring ikan atau mencari udang dan kepiting.
Selain melakukan segala pekerjaan di rumah, Mama-Mama juga mengemban kodrat sebagai perempuan. Mereka yang telah bersuami harus hamil dan melahirkan anak. Keluarga berencana tidak berlaku. Sebab, mereka harus melahirkan sebanyak mungkin anak.
Narasi tentang perempuan Asmat dan Papua lainnya tidak berbeda jauh. Sebab, dalam kesatuan rumpun Melanesia perempuan dihayati sebagai pemelihara kehidupan. Pada rahim perempuan ada keberlanjutan hidup dan masa depan Papua. Karena itu, suku-suku di Papua memberikan penghormatan khusus kepada perempuan.
Kita bisa belajar pada orang-orang Asmat. Bagi orang Asmat perempuan adalah makhluk sakral (cesar/teser). Selain itu, perempuan merupakan sumber kesuburan dan kekuatan (eram). Perempuan itu kehidupan bagi laki-laki dan anak-anak (bu ambop). Selain itu, perempuan merupakan penjaga dari ancaman musuh (cem aman juri).
Dalam kesatuan holistik dengan alam dan leluhur, orang Asmat menghayati perempuan seperti kuskus yang menggendong anaknya. Perempuan Asmat juga bagaikan burung nuri (beyor) dan burung kaka tua (ir beyor). Selain itu, orang Asmat juga menempatkan perempuan sebagai bunga bakung merah yang indah (taar) yang dikenal sebagai Taaraot/Teweraut. Seluruh simbol yang disematkan pada perempuan Asmat selalu berkaitan dengan roh leluhur. Perempuan Asmat menjadi sakral dan perkasa karena berada dalam kesatuannya dengan leluhur. (Manmak, Folklore, 2008:7-8).
Meskipun perempuan Asmat dan perempuan Papua lainnya mendapatkan tempat istimewa dalam kehidupan suku-suku di Papua, tetapi realitas di tengah kehidupan bermasyarakat menunjukkan perempuan berada dalam posisi lemah. Dalam rapat-rapat adat atau juga rapat pemerintahan kampung, tidak banyak perempuan dilibatkan. Bahkan dalam keputusan-keputusan penting terkait keberlanjutan masa depan komunitas, perempuan tidak dilibatkan. Padahal, berbagai keputusan itu pasti dilaksanakan juga oleh perempuan, tetapi perempuan tidak didengarkan pendapatnya.