Lihat ke Halaman Asli

PETRUS PIT SUPARDI

TERVERIFIKASI

Menulis untuk Perubahan

Uskup Agats Tekankan Pentingnya Masuk dalam Hidup Orang Asmat

Diperbarui: 8 Oktober 2018   15:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.Pribadi.

Semarak Pesta Budaya Asmat ke-33 tahun 2018 menyelimuti kota Agats. Ribuan orang Asmat dari kampung-kampung berdatangan ke Agats. Mereka tidak datang dengan tangan kosong. Mereka membawa berbagai hasil ukiran dan anyaman. Jalan-jalan protokol di Agats menjadi sangat rame. Orang-orang hilir mudik dari dan ke lapangan Yos Sudarso, tempat pelaksanaan Pesta Budaya.

Pesta Budaya Asmat ke-33 sudah dimulai sejak 4 Oktober 2018 diawali dengan registrasi dan penataan ukiran yang masuk dalam seleksi pelelangan. Selanjutnya, pada 5 Oktober 2018, pukul 16.00 WIT, dibuka secara resmi oleh Uskup Keuskupan Agats, Mgr. Aloysius Murwito OFM dan Wakil Bupati Asmat, Thomas Eppe Safanpo.

Hari ini, ratusan orang memadati gereja Paroki Salib Suci Agats. Mereka datang untuk bersyukur atas penyelenggaraan Pesta Budaya Asmat ke-33 tahun 2018. Umat yang hadir tidak hanya dari Agats, tetapi juga mereka yang datang dari kampung-kampung di Asmat, yang sedang mengikuti Pesta Budaya. Hadir pula wisatawan manca negara yang berasal dari Belgia, Swis, Jerman dan Italia. Itulah suasana hari Minggu, [7/10] di gereja Katedral Salib Suci Agats. 

Pukul 08.00 WIT, Uskup Keuskupan Agats, Mgr. Aloysius Murwito OFM didampingi oleh para imam berarak menuju altar gereja untuk memulai perayaan Misa syukur Pesta Budaya Asmat ke-33 tahun 2018. Tabuhan tifa dan tarian Asmat mengiringi perarakan para imam Allah ini. Beberapa Mama Asmat pun ikut bergoyang di tempatnya masing-masing.  Suasana hening dan hikmat mewarnai seluruh ruang gereja.

Dalam kata pembuka mengawali rangkaian perayaan syukur Mgr. Aloysius Murwito OFM mengajak segenap umat yang hadir untuk mensyukuri penyelenggaraan Pesta Budaya Asmat. "Gereja mengajarkan bahwa keselamatan berlangsung di dalam setiap budaya. Kita bersyukur melalui inspirasi Injil yang dituangkan dalam ajaran Gereja yang sangat menghormati budaya setempat. 

Gereja mempunyai misi menaburkan benih Injil, tetapi bukan dengan meniadakan atau menghapus budaya setempat. Gereja meyakini bahwa di luar Gereja pun ada keselataman. Kita diajak untuk menghargai budaya setempat. Tetapi, bukan hanya menghargai kita harus masuk, ikut ambil bagian dan menyelami budaya setempat sambil mewartakan terang Injil yang kita yakini sebagak Kabar Sukacita yang membawa keselamatan bagi kita semua," ungkap Uskup Alo.

Dalam suasana hening, segenap umat mengikuti perayaan Misa syukur ini. Setiap mata terarah kepada imam Allah, Uskup yang sangat sederhana ini. Ia selalu mengajak para imamnya dan segenap umat yang datang dari luar Asmat untuk menerima dan menghormati orang Asmat dan budayanya. Kepedulian Uskup Alo terhadap orang Asmat terungkap dengan amat jelas dalam khotbahnya dalam perayaan suci ini.

"Saudara sekalian, sudah 53 tahun lebih, Gereja mengambil kebijaksanaan yang penting sekali dalam perjalanan Gereja selanjutnya. Pertemuan para Uskup sedunia yang berlangsung agak panjang, tahun 1962-1965, menghasilkan sejumlah pokok-pokok permenungan teologis yang amat penting yang dijadikan pegangan oleh Gereja semesta. Sebelumnya, Gereja-bisa dikaktakan-identik dengan keseragaman. 

Mulai dari Gereja di Roma, belahan Barat dan Timur, Utara dan Selatan, semua melakukan, khususnya hal-hal ritual yang sama menggunakan bahasa Latin dan semua gerak-gerik liturgi diatur oleh Roma. Bisa dikatakan bahwa pada waktu itu Gereja cukup tertutup, tidak terbuka sedikitpun dengan dunia di luar Gereja. Hal ini terkait erat dengan ajaran Gereja waktu itu bahwa 'di luar Gereja tidak ada keselamatan, hanya di dalam Gereja ada keselamatan'. Gereja identik dengan peraturan dan rubrik yang dirumuskan oleh Roma," kisah Uskup Alo mengenang Gereja zaman pra Konsili Vatikan II.

"Pada saat konsili Vatikan II, di bawah pimpinan Paus Yohanes XXIII, Gereja bagaikan 'rumah' yang membuka 'jendela', sehingga penghuni yang ada di dalam Gereja, penghuni yang ada di dalam 'rumah' dan pimpinan Gereja (hierarkis) bisa melihat dunia luar dan angin bisa masuk dari luar ke dalam 'rumah'. Gereja mulai membuka mata, hati dan mengomunikasikan dirinya dengan dunia luar. Sejak saat itu, Gereja melakukan perubahan-perubahan, termasuk dalam ritus-ritus menggunakan bahasa setempat."

"Perubahan itu terjadi juga di Asmat. Pada tahun 1965, tidak lama setelah konsili Vatikan II selesai, para Pastor yang bertugas di Asmat mulai memelajari hasil-hasil konsili. Di situlah, Uskup Alfons Suwada dan temannya menaruh perhatian  terhadap budaya Asmat karena mengalir dari inspirasi konsili Vatikan II. Gereja diajak untuk menaruh perhatian di dalam Gereja. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline