Lihat ke Halaman Asli

PETRUS PIT SUPARDI

TERVERIFIKASI

Menulis untuk Perubahan

Semarak Pesta Budaya Asmat Tahun 2018

Diperbarui: 6 Oktober 2018   11:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wakil Bupati Asmat, Thomas Eppe Safanpo, didampingi Uskup Keuskupan Agats, Mgr. Aloysius Murwito OFM dan Ketua Panitia, Emerikus Sarkol sedang menyampaikan kata sambutan pada pembukaan Pesta Budaya Asmat ke-33, yang berlangsung di lapangan Yos Sudarso, Agats, Asmat, 5 Oktober 2018.|Dokumentasi pribadi

Dentum tifa nyaring terdengar. Suara nyanyian dalam bahasa Asmat menembus ribuan orang yang memadati lapangan Yos Sudarso, Agats. Di lapangan, tampak Bapak dan Ibu penari menggerakkan kaki, tangan dan badan mengikuti iringan tifa dan nyanyian yang dilantunkan dari atas panggung utama. Sedangkan di samping kiri dan kanan panggung utama didirikan dua rumah berbahan daun sagu (bevak) sebagai tempat meletakkan hasil karya ukir para pengukir (wow ipits) dan anyaman Mama-Mama Asmat.

Setiap mata yang hadir di lapangan Yos Sudarso menyaksikan maha karya pengukir Asmat (wow ipits) dalam berbagai rupa. Hasil karya ukir yang terpampang, tidak hanya menampilkan bentuk (model) yang sejalan dengan permintaan pasar, melainkan menghadirkan relasi erat manusia Asmat dengan Sang Pencipta (Tuhan Allah), leluhur, alam semesta dan sesama manusia. Orang Asmat sebagai bagian integral manusia Melanesia memiliki relasi holistik rangkap empat tersebut: Tuhan Allah, leluhur, alam semeta dan sesama manusia. 

Berbagai macam ukiran terpampang rapi. Ada burung kasuari, taun-taun, buaya. Ada pula panel ukiran yang menggabungkan relasi holistik yang dihayati oleh orang Asmat. Tuhan Allah, leluhur, alam semesta dan manusia membaur dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan.  

Pesta Budaya Asmat ke-33, tahun 2018 menampilkan juga hasil karya Mama-Mama Asmat berupa anyaman tas dan hiasan dinding. Mama-Mama Asmat mengubah daun sagu dan kulit kayu menjadi tas, topi, hiasan dinding dan berbagai jenis souvenir lainnya. 

Menarik saat menyimak salah satu hiasan dinding yang dirajut mengikuti peta Indonesia lengkap dengan lambang Negara Garuda Pancasila dan bertuliskan "NKRI". Pada hamparan rawa, di atas tanah berlumpur, di dusun-dusun terpencil, orang Asmat masih ingat "NKRI". 

Apa yang mereka pikirkan saat merajut hiasan dinding tersebut? Apakah sekedar untuk dijual dengan harga mahal pada saat pelelangan? Ataukah begitulah cara mereka mengekspresikan rasa cinta mereka terhadap "NKRI"? 

Terlepas dari semua tafsir atas karya seni orang Asmat, baik ukiran, anyaman, nyanyian dan tari-tarian, orang Asmat merupakan manusia unik, cerdas dan berintelektual tinggi serta memiliki spirtualitas holistik dalam menghayati dan menjalani hidup bersama Tuhan Allah, leluhur, alam semesta dan sesama manusia. Kesatuan rangkap empat mendasari persiarahan hidup orang Asmat. Apabila salah satunya rusak, maka keseimbangan tidak akan terwujud di atas tanah lumpur Asmat.

Anyaman Mama-Mama Asmat bertemakan: "NKRI". Simbol kesatuan, sekaligus merefleksikan komitmen pemerintah pusat terhadap pembangunan Papua, termasuk Asmat, 5 Oktober 2018.|Dokumentasi pribadi

Mengawali rangkaian Pesta Budaya Asmat ke-33 tahun 2018, Ketua Panitia, yang juga Ketua Komisi Kebudayaan Keuskupan Agats, Emerikus Sarkol menyampaikan laporannya. "Marilah, kita bersyukur kepada Allah, Sang Seniman Agung yang berkenan mengumpulkan kita semua di sini untuk mengikuti Pesta Budaya Asmat yang berlangsung mulai tanggal 4-9 Oktober 2018. 

Saya mengajak kita semua menjadikan pesta budaya ini menjadi kesempatan untuk memberikan motivasi dan dukungan kepada Saudara/i kita, suku Asmat dan sekitarnya, Kaigar, Sawi, Auwyu, untuk terus menggemakan lagu dan tifa dalam melestarikan pesta-pesta adat dan kearifan lokal di negeri sejuta sungai ini," paparnya.

Menarik menyimak pesan Uskup Keuskupan Agats, Mgr. Aloysius Murwito OFM pada pesta budaya Asmat ke-33 tahun 2018. Dari atas panggung di lapangan Yos Sudarso, Uskup kaum papah ini menyampaikan bahwa tahun 2018, panitia mengambil tema, "Tifa dan Lagu merupakan nyawa dari Kehidupan orang Asmat." 

Tema ini mengingatkan bahwa hidup ini tidak tetap (stagnan) tetapi merupakan sebuah proses perubahan yang diharapkan menuju kepada perubahan yang lebih baik. Karena itu, orang Asmat memiliki suatu instrumen yang penting yaitu tifa dan lagu. Tifa melukiskan sebuah gerak yang hidup. Kalau tidak ada tabuhan tifa, artinya ada sesuatu yang tidak menggembirakan seperti kematian dan bencana.  Tetapi, kalau ada tifa dan lagu-lagu, artinya ada suasana hidup di dalamnya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline