Sore menjelang malam. Cuaca di kota Agats cerah. Sebelumnya, sejak pagi hujan mengguyur kota Agats. Suasana jalan sepi. Tidak banyak motor yang lalu lalang. Di Jl. Nusantara, area pembuangan akhir sampah, tampak anak-anak berlari ke sana ke mari. Mereka sedang bermain di atas jalan papan yang masih tersisa di kota Agats. Itulah kondisi kota Agats pada Jumat, (18/8), sehari setelah perayaan kemerdekaan Indonesia ke-72.
"Pa guru datang...pa guru datang," teriak beberapa anak ke arah saya yang sedang mengayuh sepeda. "Pa guru ko mau bikin?" tanya beberapa anak saat saya tiba di ujung jembatan, tepat di area pembuangan sampah.
"Saya mau bermain dengan kamu. Terus, nanti kita belajar sama-sama." "Iya pa guru," jawab mereka serentak. Lalu, kami berfoto bersama-sama. Salah satu anak yang lebih besar memegang HP saya dan memotret kami.
"Sekarang pa guru mau ke kaka Jok punya rumah. Nanti besok baru kita belajar sama-sama," tuturku. Kemudian, saya berlalu meninggalkan mereka. Saya pergi ke pondok-pondok kumuh yang berdiri tepat di area pembuangan sampah itu.
Jalan masuk ke gubuk-gubuk itu sangat sederhana. Tiang kecil dialas dengan papan yang tidak lebar. Saat berjalan mesti menjaga keseimbangan tubuh. Apabila tubuh tidak seimbang bisa jatuh ke dalam lumpur. Saya melewati jalan itu. "Pa guru, hati-hati, nanti jatuh," pesan seorang Mama yang berdiri di ujung jalan masuk itu. Mama ini baru pulang mencari kayu bakar.
Saat tiba di area perumahan itu, beberapa ibu menyapa, "Selamat sore pa guru." Sejenak saya berdiri memandangi gubuk-gubuk kumuh milik orang Asmat yang berasal dari kampung Sawa. Di sekeliling gubuk-gubuk itu tampak kumuh. Sampah bertebaran. Bau tak sedap menyengat. Di beberapa gubuk beratapkan terpal dan berdindingkan karung bekas itu, berkibar bendera merah putih.
Bendera Merah Putih itu tak seindah kondisi hidup orang Asmat di gubuk-gubuk sederhana ini. Orang Asmat-juga orang Papua lainnya-dipaksa mencintai Indonesia, tetapi mereka ditelantarkan. Mereka hanya menjadi pelengkap seperti lagu dari Sabang Sampai Merauke. Selebihnya mereka menderita karena kekerasan aparat keamanan (polisi, tentara), gizi buruk, HIV-AIDS, malaria, tidak bisa bersekolah, hutan rusak dan lain sejenisnya.
Saya masuk ke rumah kaka Jok. Lelaki berbadan kurus. Dia ahli mengukir. Ukirannya sangat rapi. Saat itu, dia sedang mengukir panel Cenderawasih yang saya pesan. "Pa guru, ini belum selesai. Kemarin saya ke lapangan lihat orang upacara 17 Agustus," tuturnya sambil memahat panel di hadapannya.
"Pa guru, ko mau makan sagu bola kah?" tanya kaka Jok. "Ya, saya mau makan," jawabku singkat. Kaka Jok menyuruh istrinya membakar sagu bola. Sambil menggendong anaknya, ia membelah kayu bakar dan memasang api di tungku. Ia mengambil segenggam sagu, lalu mencampurnya dengan sedikit air, kemudian membentuknya menjadi bulat seperti bola. Selanjutnya, sagu berbentuk bola itu diletakkan di atas tungku api yang menyala. Tidak lama sesudah itu, ia mengangkatnya. Ia membersihkan abu yang lengket di sagu itu dan menghidangkannya kepada saya. "Pa guru, ko makan sagu ini," ajak istri kaka Jok.
Saya mengambil sagu itu dan menyantapnya. Saya makan perlahan sambil bercerita. "Kaka, sagu enak sekali ya," pujiku pada istri kaka Jok. "Ya, sagu itu kami punya makanan, bukan beras," sahut kaka Jok sambil terus mengukir.
Saya menikmati sagu bola itu sampai habis. Tidak ada teh. Tidak ada kopi. Tidak ada air putih. Saya menahan haus.