Lihat ke Halaman Asli

PETRUS PIT SUPARDI

TERVERIFIKASI

Menulis untuk Perubahan

Ironi Sang Pengukir di Lumpur Asmat

Diperbarui: 23 Oktober 2018   13:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pengukir Asmat. Dokumentasi Pribadi.

Sang mentari sudah kembali ke peraduannya. Gelap menyelimuti kota Agats, Asmat. Lampu jalan agak redup. Motor listrik dan sepeda masih lalu lalang di atas jalan komposit. Di seberang jalan, tampak samar seorang lelaki menenteng ukiran di tangannya. Ia mengenakan celana pendek dan kaos oblong, tanpa alas kaki.

Aku berdiri di pintu memperhatikan lelaki itu. Badannya kurus. Raut wajahnya agak pucat. Aku melihat ia sedang bercerita dengan seorang lelaki berambut lurus. Entah apa yang mereka perbincangkan. Tak lama kemudian, lelaki itu beranjak menuju tempat tinggalku.

“Selamat malam anak,” sapanya. “Selamat malam juga Bapa. Bagaimana Bapa?” tanyaku padanya. “Anak, saya mau jual ukiran ini. Kalau anak beli, saya mau pakai uang itu untuk beli beras,” sahutnya dengan nada sendu.

Aku merasakan getaran hatinya berharap mendapatkan sesuatu. Raut wajahnya memancarkan kesulitan yang sedang dialaminya. Aku mengajaknya duduk di ruang tamu. “Bapa tinggal di mana?” tanyaku padanya. “Anak, saya tinggal di Jalan Dolog, Pasar Baru. Saya tinggal dengan istri dan anak-anak. Saya punya anak ada tujuh orang,” jawabnya.

Wajahnya yang lesuh dan muram kini berangsur segar. Ia berkisah tentang kehidupan keluarganya. “Saya ini dulu kuliah di Jayapura sampai semester enam saja. Saya pulang kembali ke Agats karena tidak ada biaya kuliah. Sekarang ini, saya tinggal di gubuk sambil bikin ukiran. Kalau sudah selesai ukir saya jual. Uangnya saya pakai untuk beli beras dan sayur,” tuturnya.

Di sela-sela cerita itu, aku ke dapur dan mengambil segelas air putih untuknya. “Bapa, silakan diminum.” Ia mengangkat gelas itu dan meneguknya sekali saja. “Anak, Bapa minta tambah air putih. Bapa haus,” pintanya, tanpa rasa canggung.

Setelah meneguk dua gelas air putih, ia menawarkan lagi ukirannya padaku. “Anak tolong beli ukiran ini. Harganya dua ratus lima puluh ribu. Tapi, anak bisa tawar. Harga pas seratus lima puluh ribu supaya Bapa bisa beli beras Bulog satu karung yang ukuran lima belas kilo,” ungkapnya memohon.

Aku sendiri tak memiliki cukup uang untuk menolongnya. Aku mempunyai uang makan untuk satu bulan ke depan. “Kalau aku membeli ukirannya, bagaimana dengan makanku nanti?” pikirku dalam hati. Aku sendiri seorang perantau di tanah Asmat ini. “Bapa, saya punya sedikit uang makan. Saya bisa beli Bapa punya ukiran tapi seratus ribu. Bapa bisa pakai untuk beli beras sepuluh kilo,” jawabku sambil menatap wajahnya yang kembali lesu.

Tak kusangka seketika raut wajahnya berubah. Air mata membasahi pipinya. Ia berdiri dan memelukku erat. Ia berbisik hampir tak kedengaran, “Anak, terima kasih. Malam ini kami bisa makan. Sudah tiga hari ini kami tidak ada beras,” tuturnya sedih.

Aku terharu dalam dekapannya. Aku berkata, “Bapa, pakai uang seratus ribu ini untuk beli beras. Ukiran ini akan mengingatkanku pada Bapa,” jawabku singkat sembari melepaskan diri dari pelukannya.

Seketika aku teringat pada masa kecilku ketika mengalami musim paceklik pada awal tahun 1990-an di sebuah kampung kecil di Merauke. Aku teringat kembali pada saat kedua orang tua, ayah dan ibu berjuang mencari makanan, beras, sagu, singkong di kampung-kampung tetangga. Waktu itu, sistem barter masih berlaku. Seekor ayam bisa ditukar dengan beberapa tumpuk singkong. Atau sehelai kain tenun dapat ditukar dengan beberapa kilo gram beras.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline