Pagi ini, Kamis, 24 Maret 2016 Abepura diliputi awan gelap dan hujan. Udara dingin menusuk kalbu. Teh hangat dan singkong rebus menjadi sarapan pagi yang menghangatkan tubuh. Kisah tentang, “Menulis itu Hidup” mewarnai perbincangan kami. Semuanya itu terjadi di rumah kontrakan sederhana, antara saya, Mia dan keponakan yang baru kemarin datang dari Merauke, Paskalis Korolus Mare.
Inti percakapan kami bahwa di dalam hidup ini, sesibuk apa pun, kita perlu meluangkan waktu untuk menuliskan kisah-kisah inspiratif yang kita jalani. “Kita biasa belajar dan bekerja. Setiap hari kita sibuk bikin banyak hal. Kita bepergian ke mana-mana. Tetapi, kalau kita tidak pernah menuliskannya, maka sebenarnya kita tidak pernah hidup dan melewati semua aktivitas itu,” ungkapku.
Di dalam hidup ini, kita perlu menulis, menulis dan menulis. Kita menulis untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Menulis itu soal praktek, bukan bicara-bicara saja. Saat kita memiliki ide tentang sesuatu, kita harus menuliskannya supaya tidak lupa.
Di tengah diskusi sederhana itu, kami bertiga saling mengingatkan supaya pukul 17.00 WIT sudah berangkat ke gereja untuk mengikuti ibadah “Kamis Putih” mengenang perjamuan terakhir Yesus bersama para murid-Nya. Orang biasa bilang, ini adalah malam paling menentukan bagi Yesus untuk membuktikan kesetiaan-Nya kepada Bapa-Nya. Saat paling genting, karena Yesus mau menyerahkan diri-Nya, Tubuh dan Darah-Nya sebagai santapan bagi umat manusia.
Gereja mengakui bahwa melalui penyerahan diri Yesus inilah manusia memperoleh keselamatan. Dosa dan kerapuhan umat manusia ditebus dengan Tubuh dan Darah Yesus. Pada malam perjamuan ini, umat Kristen mengenangkan saat-saat krusial Yesus menyatakan kesetiaan-Nya kepada kehendak Bapa, yang telah mengutus-Nya ke dunia untuk menebus umat manusia.
Di dalam perjamuan itu, Yesus memberikan teladan yang luar biasa. Ia tidak hanya menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya saja, tetapi memberikan contoh perihal melayani. Kita bisa melihat dan menimba kekuatan cinta kasih yang ditunjukkan oleh Yesus. Ia yang biasa disapa sebagai Guru dan Tuhan, tetapi pada perjamuan itu, merendahkan diri dengan membasuh kaki para rasul-Nya.
Kita patut merenungkan kata-kata Yesus usai mencuci kaki para rasulnya. “Mengertikah kamu, apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi, jikalau Aku mencuci kakimu, Aku yang adalah Guru dan Tuhanmu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepada kamu.” (Yoh 13:14-16).
Yesus diyakini sebagai Putera Allah. Ia hadir ke dalam dunia di sebuah kandang sederhana di Betlehem. Di dalam seluruh karya pelayanan-Nya, Ia selalu berpihak kepada kaum papah, orang-orang miskin dan terlantar. Ia menyembuhkan orang sakit, bahkan membangkitkan orang mati. Semua tindakan Yesus ini, memperlihatkan misinya dalam mewartakan kerajaan Allah. Misi itu adalah Kabar Baik, Kabar Keselamatan bagi umat manusia dan alam semesta. Kabar Baik itu diwartakan-Nya dengan tindakan konkret melayani.
Yesus memperlihatkan bahwa melayani itu sederhana. Itulah yang ditunjukkan-Nya saat malam perjamuan terakhir bersama para rasul-Nya. Ia bersedia dan rela mencuci kaki para rasul-Nya. Kaki menopang tubuh. Telapak kaki menjadi tumpuan bagi manusia. Kaki menginjak bumi. Di kaki ada berjuta debu dan kotoran, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Di kaki yang kotor itulah Yesus, Putera Allah menyentuh dan mencuci dengan tangan-Nya.
Kita patut belajar pada Yesus. Kita perlu menimba kekuatan untuk melayani dengan belajar pada Yesus. Ia secara bebas mengungkapkan cinta-Nya kepada manusia, tanpa memandang siapa mereka. Ia berpihak kepada kaum papah dan orang-orang miskin. Di dalam pelayanan, Ia tidak pilih kasih.
Saat ini, acapkali kita masih pilih kasih. Kita hanya memperhatikan sesama yang dikenal. Kita juga tidak mau sibuk menolong sesama yang menderita. Kita tidak mau sibuk dengan sesma yang menderita. Kita mau mencari aman untuk diri sendiri. Kita terlalu egois. Kita tidak menyadari, bahwa kita semua dipanggil untuk melayani dengan cara kita masing-masing.