Lihat ke Halaman Asli

PETRUS PIT SUPARDI

TERVERIFIKASI

Menulis untuk Perubahan

Sebuah Catatan Tentang Penolakan Pembangunan Masjid di Wamena

Diperbarui: 12 Maret 2016   16:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negara Indonesia menjamin kebebasan bagi setiap warga negaranya untuk memeluk agama dan kepercayaan. Setiap warga negara, di mana pun berada di dalam negara ini bebas menjalankan kewajiban agamanya masing-masing. Itu hanya pada tataran ideal. Pada prakteknya, betapa sulit mendirikan rumah ibadah di wilayah yang penduduknya menganut agama minoritas. Kita bisa saksikan sampai saat ini, GKI Yasmin di Bogor masih bermasalah. Jemaah tidak bisa beribadah. Misalnya, jemaah Ahmadiyah sulit diterima oleh sesamanya yang mayoritas.

Pada tanggal 25 Februari 2016, Persekutuan Gereja-Gereja Jayawijaya (PGGJ) mengeluarkan seruan pelarangan pembangunan masjid di Wamena. Seruan PGGJ ini mengindikasikan adanya tafsir keadilan menurut masyarakat lokal. “Kalau di Aceh dan Jawa, orang Kristen sulit mendirikan gedung gereja, sudah semestinya hal serupa diberlakukan di Wamena, yang adalah mayoritas Kristen.” Tafsir keadilan semacam ini memberikan sinyal bahwa masyarakat tidak lagi percaya kepada pemerintah. Masyarakat membuat kebijakan berdasarkan apa yang dilihat dan dialami sehari-hari.

Negara diam saat menyaksikan gereja-gereja dibongkar di Aceh Singkil pada 13 Oktober 2015. Bahkan tampak aparat negara (satuan polisi pamong praja) ikut membongkar gereja-gereja. Polisi berdiri menyaksikan pembongkaran itu. Pejabat negara hadir dan melihat langsung pembongkaran gereja-gereja. Pada saat bersamaan ribuan umat Kristen menangis menjerit melihat rumah ibadah mereka rata dengan tanah. Di manakah keadilan bagi mereka? Apakah hanya karena masalah ijin mendirikan bangunan mereka harus mengalami penghinaan seperti itu?

Ketidakadilan yang dialami oleh umat Kristen di wilayah lain di negeri ini mengundang simpati dari sesama umat Kristen, walaupun tidak seheboh reaksi umat Islam dan pemerintah Indonesia terhadap peristiwa Tolikara 17 Juli 2015 silam. Peristiwa itu melukai hati orang Papua. Mengapa bangunan menjadi prioritas ketimbang orang Papua yang terluka akibat peluru aparat keamanan Indonesia. Bahkan ada korban meninggal dalam peristiwa itu, tetapi diabaikan. Pemerintah cenderung berpihak kepada dominasi mayoritas Islam. Negara sampai takut, kalau tidak bertindak cepat seperti yang dilakukan nanti bikin umat Islam marah dan bisa berbahaya untuk orang Papua yang ada di luar Papua. Betapa negara rapuh terhadap dominasi mayoritas.
Mestinya negara hadir dan mencari alternatif yang tidak melukai perasaan keagamaan warga negaranya. Negara perlu memberikan pemahaman perbedaan dan keberagaman kepada warga negaranya bukan sebaliknya melegitimasi tindakan dan dominasi golongan mayoritas. Kalau negara masih bersikap malas tahu dan tidak peduli pada keberagaman dan perbedaan, maka setiap wilayah akan menafsirkan keadilan menurut pengalamannya sendiri. Di mana ada dominasi mayoritas, kaum minoritas akan menderita, karena tidak bisa melaksanakan kewajiban agamanya secara bebas.

Seruan PGGJ membuktikan bahwa masyarakat menuntut keadilan. Kalau pemerintah Indonesia melegitimasi pembongkaran gereja di Singkil dan di berbagai wilayah lain, maka sudah semestinya pemerintah juga turut melarang orang Islam supaya tidak boleh mendirikan masjid di Wamena, yang tidak banyak orang Islamnya. Inilah keadilan menurut penafsiran masyarakat yang selalu mengalami ketidakadilan.

Mungkin ada motif lain di balik keluarnya seruan PGGJ tersebut, tetapi patut direnungkan mengapa sampai seruan ini bisa lahir dari para pemimpin Gereja? Mengapa harus menyerukan larangan pembangunan masjid? Bukankah masjid itu rumah ibadah? Apa motifnya?

Peristiwa yang menyakitkan terjadi menjelang perayaan Natal 2015 silam. Jafar Umar Thalib dan para santrinya datang dan tinggal di Koya Barat. Mereka bikin ulah di sana. Sudah jelas-jelas mereka bikin kacau saat suasana menjelang Natal. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Majelis Muslim Papua (MMP) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengusir Jafar Umar Thalib dan santrinya, tetapi sampai saat ini para santrinya masih tinggal di Koya Barat. Sedangkan Jafar Umar Thalib sudah pulang ke Yogyakarta. Aparat penegak hukum diam membisu. Pemerintah pusat juga diam. Padahal, semua orang tahu Jafar Umar Thalib adalah pengacau dan panglima laskar jihad saat peristiwa Ambon 1999 silam. Mengapa Jafar Umat Thalib bisa masuk Papua dan hendak membuka pesantren di Koya Barat dan dibiarkan begitu saja? Padahal tokoh-tokoh agama dan segenap umat beragama di Papua sudah menolak kehadirannya. Siapa yang bermain dengan kehadiran Jafar Umar Thalib di Papua ini? Skenario apa lagi yang hendak dipertontonkan di atas tanah Papua ini?

Reaksi PGGJ dengan mengeluarkan surat pernyataan sikap terkait pelarangan pembangunan masjid di Wamena hanya menjadi percikan api perasaan tidak adil yang selama ini dialami oleh umat Kristen yang minoritas di negeri ini. Negara selalu tidak hadir bagi kaum minoritas. Negara bahkan takut pada dominasi mayoritas dan ikut menindas kalangan minoritas. Padahal negara ini didirikan bukan oleh golongan mayoritas agama tertentu. Negara ini didirikan oleh segenap komponen warga negara Indonesia yang berbeda-beda. Kini perbedaan kian terkoyak dan merusak tatanan kehidupan umat manusia.

Apa isi surat PGGJ? Berikut adalah isi surat PGGJ yang dikeluarkan pada 25 Februari 2016 silam:

  1. Seluruh dominasi Gereja di kabupaten Jayawijaya meminta pemerintah daerah kabupaten Jayawijaya mencabut/membatalkan ijin mendirikan Masjid Agung Baiturahman Wamena.
  2. Panitia pembangunan Masjid Agung Baiturahman harus menghentikan pekerjaan.
  3. Menutup Mushola/Masjid yang tidak memiliki ijin atau menyalahgunakan ijin tempat usaha tetapi dijadikan mushola/masjid, sebagaimana yang diatur dalam SKB Dua Menteri.
  4. Dilarang pembangunan mushola atau masjid baru di Jayawijaya.
  5. Dilarang menggunakan toa/pengeras suara saat sholat kerena sangat mengganggu ketenangan dan kenyamanan masyarakat.
  6. Dilarang menggunakan busana ibadah (Jubah dan Jilbab) di tempat-tempat umum.
  7. Hetikan upaya mendidik (menyekolahkan) anak-anak Kristen Papua di Pesantren-pesantren.
  8. Hentikan mendatangkan guru-guru kontrak non-Kristen.
  9. Demi keharmonisan, kenyamanan dan keamanan agar dapat dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.

Surat ini ditandatangani oleh lima belas denominasi Gereja, kecuali Gereja Katolik tidak ikutserta menandatangani surat seruan ini. Tampak bahwa komunikasi intern Gereja dan lintas iman, di kalangan pemuka agama sangat minim. Andai saja ada komunikasi intensif di antara para pemimpin agama lintas iman seruan diskriminatif semacam ini tidak perlu dikeluarkan.

Belajar dari pengalaman ini, para pemimpin dan pemuka agama-agama perlu saling berjumpa setiap saat. Perjumpaan merupakan ruang untuk saling mengenal, saling berbagai pengalaman dan baku kasih tahu tentang kondisi dan situasi perkembangan jemaah. Kalau para pemimpin agama-agama sudah saling mengenal, maka setiap permasalahan lintas iman dan agama bisa diselesaikan secara bijaksana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline