Lihat ke Halaman Asli

PETRUS PIT SUPARDI

TERVERIFIKASI

Menulis untuk Perubahan

Gereja dan Injil, Masihkah Menjadi Harapan bagi Orang Papua?

Diperbarui: 5 Februari 2016   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: Dok. Pribadi"][/caption]Hari ini, Jumat, 05 Februari 2016, segenap rakyat Papua merayakan hari Pekabaran Injil ke-161. Pada 5 Februari 1855, Carl W. Ottow dan Geissler menginjakkan kaki di pulau Mansinam, Manokwari, Papua Barat. Keduanya membawa Injil, Kabar Baik bagi orang Papua. 

Misionaris  Ottow dan Geissler membawa sosok Yesus sebagai juru selamat umat manusia. Kehadiran keduanya serentak juga membuka ruang baru bagi orang Papua berkontak dengan dunia luar yang sebelumnya tidak dikenal. Gereja, Injil dan Yesus waktu itu menjadi “barang” baru bagi orang Papua di pulau Mansinam dan sekitarnya. 

Setelah 161 tahun, Gereja dan Injil hadir menyapa orang Papua, realitas sosial memperlihatkan bahwa orang Papua masih berada dalam situasi yang memprihatinkan. Orang Papua masih menderita. Kita bisa menyaksikan hampir di seluruh tanah ini, orang Papua melarat. Mereka tidak bisa mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan, perumahan dan perekonomian yang memadai.

Kita juga tidak bisa menyangkal bahwa ada para elit orang Papua yang hidup bergelimang harta di tengah penderitaan sesamanya orang Papua. Para elit ini memiliki rumah dan mobil mewah. Mereka tinggal di rumah mewah dan menyaksikan penderitaan orang Papua. Mereka menggunakan mobil mewah dan lalu lalang menyaksikan sesamanya orang Papua yang menderita. Mereka kurang peduli pada sesamanya orang Papua yang menderita.

Sudah 161 tahun Gereja dan Injil hadir menyapa orang Papua. Gereja dan Injil menampilkan wajah Yesus yang berbelas kasih kepada kaum papah, orang miskin dan menderita. Yesus diterima sebagai Tuhan, menggantikan kepercayaan orang Papua akan sang realitas tertinggi yang sudah ada waktu itu. Para misionaris menganggap kepercayaan orang Papua terhadap realitas tertinggi, yang disebut dalam bahasa mereka sebagai berhala-berhala. Para misionaris mengharuskan orang Papua menerima Yesus dan Injil sebagai satu-satunya Tuhan, yang patut disembah.

Para misionaris terlanjur memberi stigma negatif terhadap orang Papua. Terminalogi yang digunakan adalah, “Gereja dan Injil datang dan meng-adab-kan orang Papua.” Akibatnya, dominasi Gereja dan Injil melampaui adat dan budaya yang sudah dihidupi oleh orang Papua turun-temurun. Injil menjadi fokus utama, sedangkan adat-istiadat orang Papua dimusnahkan.

Terhadap pengalaman pewartaan Injil yang dilakukan oleh para misionaris ini, saya selalu memiliki refleksi, “Gereja dan Injil datang mencabut orang Papua dari adat dan budayanya dan menggantikannya dengan Yesus dan Injil. Sesuatu yang baru dan asing bagi orang Papua. Orang Papua dicabut dari akar adat dan budayanya. Wadah baru yang bernama Injil dijadikan sebagai pijakan bagi orang Papua. Sayangnya, wadah baru itu acapkali menghakimi ketimbang membimbing. Akibatnya, orang Papua merana. Mereka tercabut dari akarnya dan tidak mendapatkan pijakan yang kokoh.”

Fakta mempelihatkan, saat ini orang Papua sangat menderita. Orang Papua dibunuh oleh aparat militer Indonesia. Kita bisa lihat peristiwa Paniai berdarah 8 Dsember 2014. Empat pelajar mati ditembak oleh aparat keamanan. Peristiwa Tolikara 17 Juli 2015, aparat keamanan menembak mati satu orang dan puluhan lainnya luka-luka. Kita menyaksikan mama-mama Papua berjualan di emperan toko dan trotoar. Masih terlalu banyak kisah piluh yang melilit orang Papua. 

Pada saat bersamaan, Gereja dan Injil, yang mengklaim meng-adab-kan orang Papua berdiam diri. Bahkan para pejabat Gereja acapkali mengikuti kelakuan para elit yang suka hidup mewah di atas penderitaan orang Papua. Para pejabat Gereja membangun gedung gereja dan pastoran mewah. Para pejabat Gereja tinggal di rumah mewah dan melupakan penderitaan umatnya. 

Jarang ditemukan Gereja (jemaat) mengumpulkan kolekte (derma) hari Minggu untuk membantu orang-orang miskin, mahasiswa dan pelajar yang tidak memiliki uang semester. Gereja (jemaat) selalu diarahkan untuk mengumpukan uang untuk membangun gedung gereja dan pastoran mewah. Mengapa Gereja suka sekali membangun gedung-gedung mewah dan melupakan umat?

Pada perayaan hari ulang tahun pekabaran Injil ke-161 ini, Gereja perlu merefleksikan kembali kehadirannya di Papua. Sejauh mana kehadiran Gereja dan Injil memiliki pengaruh nyata terhadap hidup orang Papua? Gereja dan Injil sudah hadir di Papua selama 161 tahun, tetapi situasi sosial di Papua menunjukkan bahwa Gereja dan Injil tidak mampu memberikan pencerahan bagi orang Papua. Kita bisa menyaksikan korupsi menjamur di tanah Papua. Kita menyaksikan HIV/AIDS melanda membunuh orang Papua. Aparat keamanan Indonesia membunuh orang Papua. Ribuan anak-anak Papua tidak bisa bersekolah dan tidak memperoleh gizi yang baik. Jutaan orang Papua hidup di gubuk-gubuk sederhana, tanpa air bersih, listrik dan jalan yang layak. Di manakah Gereja dan Injil?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline