Lihat ke Halaman Asli

PETRUS PIT SUPARDI

TERVERIFIKASI

Menulis untuk Perubahan

Belajar dari Si Miskin

Diperbarui: 15 Agustus 2015   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak orang mendambakan hidup mewah. Rumah mewah, pesawat jet, mobil mewah, handphone canggih merupakan impian yang dikejar. Seakan-akan hidup menjadi bermakna kalau memiliki segala kemewahan itu. Nilai hidup manusia bergeser seiring kemajuan zaman, dengan tekonologi komunikasi dan sarana transportasi yang sangat maju.

Saat ini, pribadi manusia bisa diperjual-belikan. Ada kisah yang ditampilkan di televisi dan media online tentang artis yang rangkap profesi jadi pelacur. Ada juga yang sembunyi-sembunyi bikin praktek prostitusi pinggir jalan sampai di hotel mewah. Nilai tubuh manusia sudah tidak dihormati lagi. Harta kekayaan menjadi fokus pencaharian, sehingga manusia lupa pada dirinya sendiri.

Situasi ini sangat berbeda, dengan pengalaman si miskin dari Asisi. Dia adalah Fransiskus Asisi. Dia lahir dari keluarga mapan. Ayahnya, Pietro Bernardone, adalah pedagang kain di kota Asisi. Ibunya, Dona Pica, keturunan bangsawan. Masa mudanya, dilaluinya dengan berfoya-foya bersama kawan-kawannya di kota Asisi. Impiannya adalah menjadi ksatria tangguh. Dia sempat ikut perang dan ditawan.

Pengalaman perjumpaan dengan orang miskin telah mengubah hidupnya. Ia meninggalkan segala kekayaan dan kemapanan hidupnya dan menjadi pengemis di kota Asisi. Ia benar-benar menjadi miskin tatkala menanggalkan pakaianya di depan khalayak. Dia benar-benar telanjang. Tidak ada sehelai pakaian di tubuhnya. Dia mengenakan pakain dari karung goni. Saat orang melihatnya dengan pakaian compang-camping itu, mereka menertawainya. Dalam kemiskinannya yang radikal itu, dia bebas melayani orang miskin, terutama orang kusta yang dianggap sampah di kota Asisi.

Pertanyaannya, mengapa dia begitu gila untuk menjadi miskin dan kecil? Dia memiliki pengalaman rohani. Pengalaman perjumpaan dengan pribadi yang diimaninya. Yesus. Dia yakin saat sakit dan berjumpa dengan orang kusta, sebenarnya dia berjumpa dengan Yesus. Apa lagi suatu kali saat dia berdoa, ada suara yang bilang: “Fransiskus, perbaiki Gereja-Ku.” Dia ikut lurus-lurus suara itu. Dia pergi perbaiki gedung gereja di San Damiano yang hampir rubuh. Tetapi, rupanya bukan itu. Gereja itu adalah manusia yang sudah rapuh dan dikuasai oleh keinginan berkuasa dan meraih harta kekayaan dengan menjual dirinya sendiri, sesama manusia dan alam.

Fransiskus mengasihi Yesus, orang miskin dan papah. Dia bahkan menerima alam semesta sebagai saudaranya. Itulah alasan dia bikin kidung Saudara Matahari. Sebuah kidung yang mengungkapkan rasa cintanya pada Tuhan, manusia dan alam semesta. Bahkan maut sekalipun disapa sebagai saudara.

Penggalan kisah si miskin dari Asisi, muncul begitu saja, tatkala saya berjumpa dengan kawan saya, Pastor Ambrosius Sala OFM. Dia lahir di Ende, Flores dan besar di Arso 9, Kabupaten Keerom. Pertengahan Agustus 2003, pertama kali saya berjumpa dengannya. Waktu itu, kami sama-sama sekolah di seminari menengah St. Fransiskus Asisi Waena. Dia punya banyak kisah menarik. Dia berasal dari keluarga yang sederhana. Sejak kecil ditinggalkan oleh ayahnya. Seringkali dia dipukul oleh sang kakak. Untuk bisa sekolah, dia mesti bantu jual orang punya kue. Dia juga tinggal dengan orang dari suku lain (Batak), yang memperhatikan sekolahnya.

Selama di seminari, saya seringkali diserang malaria. Dia selalu menolong saya. dia melakukannya dengan tulus-ikhlas disertai senyum khasnya. Karena dia bertubuh pendek, seringkali saya memanggilnya adik, sekedar bercanda.

Saya mengenalnya, sebagai pribadi yang ramah dan suka menolong. Dia selalu hadir untuk semua orang. Siapa pun yang membutuhkan bantuan, dia pasti menolongnya. Kalau dia tidak bisa menolong, pasti dia cari jalan keluar terbaik supaya orang yang membutuhkan pertolongannya tidak pulang dengan hampa. Dia berujar: “Kalau kita mau orang terima kita, kita harus terima orang. Kalau orang tidak terima kita, bagaimana perasaan kita?”

Tanggal 6 Janauri 2015, dia ditahbiskan menjadi imam Katolik di Nabire, Keuskupan Timika bersama sembilan rekan lainnya. Dia ditempatkan di Moanemani, kabupaten Dogiay. Di sana, dia melayani umat, yang sebagian besar orang Papua yang sederhana. Semangat pelayanannya, selalu bikin setiap orang yang pernah berjumpa dengannya merasa kehilangan saat dia pindah tugas.

Hari ini, 15 Agustus 2015, dia datang mengunjungi saya, setelah sekian lama tidak berjumpa. Dalam cerita singkat yang berlangsung di kos sederhana, tempat saya tinggal, dia berkisah tentang pelayanannya. “Saya selalu terima orang yang datang ke pastoran. Biasanya, pagi jam lima pagi ada ibu-ibu yang datang minta doa, saya layani. Kalau mereka kasih saya nota (petatas), saya terima dan bawa. Di tengah jalan, kalau lapar, saya makan bersama orang yang temani saya,” ungkapnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline